Tag Archive: Ramadhan


Kebaikan di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan sungguh adalah bulan yang penuh berkah, artinya mendatangkan kebaikan yang banyak. Kebaikan yang diperoleh umat Islam di bulan Ramadhan bisa meliputi ukhrowi dan duniawi. Coba kita lihat di bulan Ramadhan ini begitu banyak kebaikan ukhrowi yang diperoleh setiap muslim. Di antara keberkahan tersebut adalah dengan menjalankan shiyam ramadhan akan mendapatkan pengampunan dosa yang telah lalu. Keberkahan lainnya lagi adalah dalam menjalankan shalat malam (shalat tarawih). Itu juga adalah sebab pengampunan dosa. Begitu pula pada bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari 1000 bulan, yaitu lailatul qadar. Inilah di antara keberkahan ukhrowi yang bisa diperoleh. Namun ada satu sisi kebaikan lainnya, yang mana ini tidak kalah pentingnya, yaitu bulan Ramadhan adalah saat yang tepat untuk memperbaiki diri sehingga selepas bulan Ramadhan seseorang bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pembahasan inilah yang akan kami ulas dalam tulisan sederhana ini.

Pintu Kebaikan Dimudahkan di Bulan Ramadhan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada malam pertama bulan Ramadhan syetan-syetan dan jin-jin yang jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satu pun pintu yang terbuka dan pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satu pun pintu yang tertutup, ketika itu ada yang menyeru: “Wahai yang mengharapkan kebaikan bersegeralah (kepada ketaatan), wahai yang mengharapkan keburukan/maksiat berhentilah”. Allah memiliki hamba-hamba yang selamat dari api neraka pada setiap malam di bulan Ramadhan”.[1] Dalam hadits lainnya disebutkan, ”Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.”[2]
Baca lebih lanjut

Malam Lailatul Qadar

Sudah sepertiga bulan Ramadhan kita telah lalui dengan penuh kesungguhan (Insya Allah) dengan mengharap keridhaan dari Allah SWT. Semoga amal ibadah yang telah kita kerjakan diterima oleh Allah SWT dan mendapat ganjaran pahala yang setimpal , Amiien.. Perlu diketahui bahwa sepertiga terakhir bulan Ramadhan adalah saat-saat yang penuh dengan kebaikan dan keutamaan serta pahala yang melimpah. Didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersungguh-sungguh untuk menghidupkan sepuluh terakhir tersebut dengan berbagai amalan melebihi waktu-waktu lainnya. Baca lebih lanjut

Memahami I’tikaf Secara Syar’i

Secara literal (lughatan), kata “الاعْتِكاف” berarti “الاحتباس” (memenjarakan)[1]. Ada juga yang mendefinisikannya dengan “حَبْسُ النَّفْسِ عَنْ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ”, menghasung diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan.[2]
Dalam terminologi syar’i (syar’an), para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan i’tikaf dikarenakan perbedaan pandangan dalam penentuan syarat dan rukun i’tikaf[3]. Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum bahwa i’tikaf adalah “الْمُكْث فِي الْمَسْجِد لعبادة الله مِنْ شَخْص مَخْصُوص بِصِفَةٍ مَخْصُوصَة”, berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu.[4]
Baca lebih lanjut

Cendekiawan muslim Sayyid Prof Dr M Quraish Shihab MA yang pernah menerima penghargaan Islamic Book Fair (IBF) Award sebagai Tokoh Perbukuan Islam 2009, dan sering memberikan kajian di berbagai layar kaca. Menjawab 26 pertanyaan berkaitan dengan Ibadah Ramadhan, Semoga ini bisa menambah wawasan kita mengenai Islam yang luas.

* Hukumnya puasa bagi pekerja kuli bangunan/pelabuhan, yang
karena capek sering tidak puasa?
* Hukumnya sedang berpuasa memasukkan obat melalui mata,
telinga, dan dubur (obat ambeien)?
* Ramadhan lalu berhutang puasa. Haruskah diganti dua kali
lipat, adakah hadis/keterangan mengenai hal tersebut?
* Mens tidak rutin. Sehari kering, sehari kemudian keluar
lagi. Dalam keadaan demikian, bagaimana berpuasa?
* Sebelum puasa disuntik KB. Bulan Puasa ini saya tidak haidh,
tapi keluar flek-flek hitam. Batalkah puasa saya?
* Dalam sebuah riwayat, Rasul tidak pernah berjabat tangan
dengan wanita yang bukan mahramnya. Apakah riwayat itu benar
dan bagaimana sekarang ini banyak ulama, ustad, dan kyai yang
berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram?
* Saya biasa salat malam sekitar pukul 02:30. Kebiasaan itu
berlanjut dalam bulan Ramadhan ini. Bagaimana niat saya ketika
mendirikan salat pada jam tersebut, niat tarawih atau tahajud?
* Bagaimana cara zakatnya orang yang berhutang kepada bank?
* Kapan tepatnya malam lailatul qadr, apa khasiat
(keistimewaannya) dan bagaimana cara mendapatkannya?
* Mana yang harus didahulukan puasa Syawal atau membayar utang
puasa Ramadhan?
* Bolehkah itikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan dilakukan di
rumah, atau apakah harus di masjid?
* Apakah puasa Syawal harus dilakukan berturut-turut mulai dua
Syawal, atau bagaimana seharusnya?
* Dokter menganjurkan orangtua saya yang baru dioperasi agar
tidak berpuasa. Apakah dengan demikian orangtua saya cukup
membayar fidyah atau mengganti puasa di lain waktu? Bagaimana
pahala salat tarawihnya karena beliau tidak puasa?
* Apakah yang lebih utama salat tarawih delapan rakaat atau 20
rakaat? Adakah keterangan yang menjelaskan keduanya?
* Hukumnya mendengar orang yang sedang bergunjing? Apa
tandanya orang yang mendapat lailatul qadr?
* Kalau di bulan puasa main kartu remi pakai uang monopoli,
dosa tidak?
* Apa dasarnya melaksanakan salat witir tiga rakaat dengan dua
salam?
* Mana yang benar mengirim doa atau mendoakan yang sudah
meninggal? Saya tidak pernah berziarah ke makam Bapak/Ibu,
dosakah saya?
Baca lebih lanjut

penulis Al-Ustadz Abu Abdirrahman Al-Bugisi

A. Makan Sahur
Orang yg berpuasa sangat dianjurkan utk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Al-‘Ash z
bahwa Rasulullah n
bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ

“Perbedaan antara puasa kami dgn puasa ahli kitab adl makan sahur.”
Dari Salman z
Rasulullah n
bersabda:

الْبَرَكَةُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: الْجَمَاعَةِ وَالثَّرِيْدِ وَالسَّحُوْرِ

“Berkah ada pada 3 hal: berjamaah tsarid dan makan sahur.”
Disukai utk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit z
ia berkata:
Kami makan sahur bersama Rasulullah n
kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku bertanya: “Berapa jarak antara adzan1 dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadar 50 ayat.”
Namun apa yg diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dgn istilah imsak yaitu menahan beberapa saat sebelum adzan Shubuh adl perbuatan bid’ah krn dlm ajaran nabi n
tak ada imsak kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah n
bersabda:

إِذَا أَذَّنَ بِلاَلٌ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍِ

“Apabila Bilal mengumandangkan adzan mk makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.”
Bahkan bagi orang yg ketika adzan dikumandangkan masih memegang gelas dan semisal utk minum diberikan rukhshah khusus bagi sehingga dia boleh meminumnya.
Abu Hurairah z
meriwayatkan bahwa Rasulullah n
bersabda:

إِذَ سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءُ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan sedangkan bejana ada di tangan mk janganlah dia meletakkan hingga menunaikan keinginan dari bejana .”
Hukum makan sahur adl sunnah muakkadah. Berkata Ibnul Mundzir: “Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukum sunnah dan tdk ada dosa bagi yg tdk melakukan berdasarkan hadits Anas bin Malik z
bahwa Rasulullah n
bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah krn sesungguh pada makan sahur itu ada barakahnya.”
Dianjurkan makan sahur dgn buah kurma jika ada dan boleh dgn yg lain berdasarkan hadits Abu Hurairah z
bahwa Rasulullah n
bersabda:

نِعْمَ السَّحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adl buah kurma.”
Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum mk boleh dia makan dan minum sampai dia yakin bahwa fajar telah terbit.
Firman Allah k
:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam yaitu fajar .”
Berkata As-Sa’di t
: “Pada terdapat bahwa jika makan dan semisal dlm keadaan ragu akan terbit fajar mk tdk mengapa.”

B. Berbuka Puasa
Orang yg berpuasa dianjurkan utk mempercepat berbuka jika memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menunda meski ia merasa masih kuat utk berpuasa. ‘Amr bin Maimun Al-Audi meriwayatkan:

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْجَلَ النَّاسِ إِفْطًارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُوْرًا

“Para shahabat Muhammad n
adl orang yg paling cepat berbuka dan paling lambat sahurnya.”
Berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t
:
“Cepat-cepat berbuka puasa bila telah terbenam matahari bukan krn adzan. Namun di waktu sekarang manusia menyesuaikan adzan dgn jam-jam mereka. mk bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.”
Buka puasa dilakukan dlm keadaan ia mengetahui dgn yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dgn melihat di lautan dan semisalnya. Adapun hanya sekedar menduga dgn kegelapan dan semisal mk bukan dalil atas terbenam matahari. Wallahu a’lam.
Mempercepat buka puasa adl mengikuti Sunnah Rasulullah n
. Sahl bin Sa’ad z
meriwayatkan Rasulullah n
bersabda:

لاَ تَزَالُ أُمَّتِيْ عَلَى سُنَّتِيْ مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُوْمَ

“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tdk menunggu bintang ketika hendak berbuka.”
Mempercepat berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yg diriwayatkan Sahl bin Sa’ad z
bahwa Rasulullah n
bersabda:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِّطْرَ

“Senantiasa manusia berada dlm kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.”
Mempercepat berbuka puasa adl perbuatan menyelisihi Yahudi dan Nashara. Abu Hurairah z
berkata Rasulullah n
bersabda:

لاَ يَزَالُ هَذَا الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

“Senantiasa agama ini nampak jelas selama manusia mempercepat buka puasa krn Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.”
Selain itu mempercepat buka puasa termasuk akhlak kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah x
:

ثَلاَثٌ مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ: تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَالتَّأْخِيْرُ السُّحُوْرِ وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ

“Tiga hal dari akhlak kenabian: mempercepat berbuka mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dlm shalat.”
Orang harus berbuka puasa lbh dahulu sebelum shalat Maghrib berdasarkan hadits Anas z
bahwa Rasulullah n
berbuka puasa sebelum shalat dan makanan yg paling dianjurkan utk berbuka puasa adl kurma. Anas bin Malik z
berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Adalah Nabi n
berbuka dgn ruthab sebelum shalat bila tdk ada ruthab mk dgn tamr bila tdk ada mk dgn beberapa teguk air.”
Jangan lupa berdoa sebelum berbuka puasa dgn doa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى

“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah k
.”
Orang yg menjalankan ibadah puasa diharuskan menjauhkan perkataan dusta sebagaimana yg terdapat dlm hadits Abu Hurairah z
bersabda Rasulullah n
:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yg tdk meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkan mk tdk ada keinginan Allah pada puasanya”

1 Yang dimaksud adl iqomah krn terkadang iqomah disebut adzan wallahu a’lam. Yang dimaksud dgn sahur adl akhir waktu sahur yaitu ketika masuk waktu shubuh sebagaimana akan lbh jelas pada artikel ‘Sahur dan Berbuka’ -red.

Pembatal Puasa

a. Makan dan minum dgn sengaja
Allah k
berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.”
Namun jika seseorang lupa mk puasa tdk batal berdasarkan hadits Rasulullah n
:

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Jika ia lupa lalu makan dan minum mk hendaklah dia sempurnakan puasa krn sesungguh Allah yg memberi makan dan minum.”

b. Keluar darah haidh dan nifas
Hal ini sebagaimana dikatakan ‘Aisyah x
:
“Adalah kami mengalami mk kami diperintahkan utk meng-qadha puasa dan tdk diperintahkan meng-qadha shalat.”
Para ulama telah sepakat dlm perkara ini.

c. Melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan
Hal ini berdasarkan dalil Al Qur’an As Sunnah dan kesepakatan para ulama. Bagi yg melakukan diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak bila tdk mampu mk berpuasa dua bulan secara terus-menerus dan bila tdk mampu juga mk memberi makan 60 orang miskin. Tidak ada qadha bagi menurut pendapat yg kuat. Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki2 maupun perempuan.
Adapun bila seseorang melakukan hubungan suami istri krn lupa bahwa dia sedang berpuasa mk pendapat yg kuat dari para ulama adl puasa tdk batal tdk ada qadha dan tdk pula kaffarah. Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah z
bahwa Rasulullah n
bersabda:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَةَ

“Barangsiapa yg berbuka sehari di bulan Ramadhan krn lupa mk tdk ada qadha atas dan tdk ada kaffarah .”
Kata ifthar mencakup makan minum dan bersetubuh. Inilah pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukani rahimahumallah.

d. Berbekam
Ini termasuk perkara yg membatalkan puasa menurut pendapat yg rajih berdasarkan hadits Rasulullah n
:

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ

“Telah berbuka orang yg berbekam dan yg dibekam.”
Hadits ini shahih dan diriwayatkan dari kurang lbh 18 orang shahabat dan dishahihkan oleh para ulama seperti Al-Imam Ahmad Al-Bukhari Ibnul Madini dan yg lainnya. Ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah serta dikuatkan oleh Ibnul Mundzir.
Ada beberapa perkara lain yg juga disebutkan sebagian para ulama bahwa hal tersebut termasuk pembatal puasa di antaranya:

a. Muntah dgn sengaja
Namun yg rajih dari pendapat ulama bahwa muntah tidaklah membatalkan puasa secara mutlak sengaja atau tdk sengaja. Sebab asal puasa seorang muslim adl sah tidaklah sesuatu itu membatalkan kecuali dgn dalil. Adapun hadits Abu Hurairah z
bahwa Rasulullah n
bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barangsiapa yg dikalahkan oleh muntah mk tdk ada sesuatu atas dan barangsiapa yg sengaja muntah mk hendaklah dia meng-qadha .”
Hadits ini dilemahkan oleh para ulama di antara Al-Bukhari dan Ahmad. Juga dilemahkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t
.
Namun jika muntah tersebut keluar lalu dia sengaja memasukkan kembali mk hal ini membatalkan puasanya.

b. Menggunakan cairan penngganti makanan seperti infus
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama dan yg rajih bahwa suntikan terbagi menjadi dua bagian:
1}. Suntikan yg kedudukan sebagai pengganti makanan mk hal ini membatalkan puasa sebab nash-nash syari’at bila didapatkan pada sesuatu yg termasuk dlm penggambaran yg sama mk dihukumi sama seperti yg terdapat dlm nash.
2}.Suntikan yg tdk berkedudukan sebagai pengganti makanan mk hal ini tidaklah membatalkan puasa sebab gambaran tdk seperti yg terdapat dlm nash baik lafadz maupun makna tdk dikatakan makan dan tdk pula minum dan tdk pula termasuk dlm makna keduanya. Dan asal adl sah puasa seorang muslim sampai meyakinkan pembatal berdasarkan dalil yg syar’i.

Namun Asy-Syaikh Muqbil t
menasehatkan bagi orang yg sakit utk berbuka dan tdk berpuasa agar tdk terjatuh ke dlm sesuatu yg menimbulkan syubhat.

c. Onani
Pendapat yg rajih dari pendapat para ulama bahwa onani tidaklah membatalkan puasa namun termasuk perbuatan dosa yg diharamkan melakukan baik ketika berpuasa maupun tidak. Allah k
berfirman menyebutkan di antara ciri-ciri orang mukmin:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ

“Dan orang yg memelihara kemaluan kecuali kepada istri-istri atau budak wanita yg mereka miliki. mk sesungguh tdk tercela. mk barangsiapa yg mencari selain itu mereka itulah orang2 yg melampaui batas.”

Hal-Hal yg Diperbolehkan Bagi Orang yg Berpuasa

a. Bersiwak
Rasulullah n
bersabda:

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ

“Jika aku tdk memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak tiap hendak shalat.”

b. Masuk waktu fajar dlm keadaan junub
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah c
bahwa Nabi n
mendapati waktu fajar dlm keadaan junub setelah istri kemudian beliau mandi dan berpuasa.

c. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dlm hidung asal tdk berlebihan
Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah n
bersabda:

وَبَالِغْ فِي اْلإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dlm ber-istinsyaq kecuali bila kalian berpuasa.”

d. Menggauli istri selain bersetubuh
Sebagaimana yg dikatakan oleh ‘Aisyah x
:
“Adalah Rasulullah n
mencium dan beliau berpuasa menggauli dan beliau berpuasa.”

e. Mencicipi makanan dan mencium asal tdk memasukkan ke dlm kerongkongan
Berkata Ibnu ‘Abbas c
:
“Tidak mengapa seseorang mencicipi cuka atau sesuatu selama tdk masuk kerongkongan dlm keadaan dia berpuasa.”

f. Mandi di siang hari
Sebagaimana yg terdapat pada kisah junub Nabi n
yg telah lalu.

Perbuatan yg Dianjurkan di bulan Ramadhan

a. Memperbanyak shadaqah
b. Memperbanyak bacaan Al Qur’an dzikir doa dan shalat
Ibnu ‘Abbas c
meriwayatkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فِيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

“Rasulullah n
adl orang yg paling dermawan dan beliau lbh dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menemui lalu membacakan pada Al Qur`an.”

c. Memberikan makan kepada orang yg berbuka puasa
Rasulullah n
bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Barangsiapa yg memberi makan orang yg berpuasa mk bagi seperti pahala dlm keadaan tdk berkurang sedikitpun dari pahala orang yg berpuasa itu.” .

Wallahul muwaffiq.

baca juga Materi Kultum Ramadhan

Sumber: http://www.asysyariah.com link from http://blog.re.or.id

Abuya menorehkan sepuluh keutamaan orang-orang yang berpuasa yang ada pada umat ini.

Pertama, Allah memberikan keistimewaan kepada umat yang berpuasa dengan menyediakan satu pintu khusus di surga yang dinamai Al Rayyan. Pintu surga Al Rayyan ini hanya disediakan bagi umat yang berpuasa. Kata Nabi dalam satu haditsnya, “Pintu Rayyan hanya diperuntukkan bagi orang-orang berpuasa, bukan untuk lainnya. Bila pintu tersebut sudah dimasuki oleh seluruh rombongan ahli puasa Ramadhan, maka tak ada lagi yang boleh masuk ke dalamnya.” (HR. Ahmad dan Bukhari-Muslim)

Kedua, Allah telah mengfungsikan puasa umat Nabi Muhammad saw sebagai benteng yang kokoh dari siksa api neraka, sekaligus tirai penghalang dari godaan hawa nafsu. Dalam hal ini Rasul bersabda, “Puasa (Ramadhan) merupakan perisai dan benteng yang kokoh dari siksa api neraka.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi).

Rasul menambahkan pula bahwa puasa yang berfungsi sebagai perisai itu layaknya perisai dalam kancah peperangan selama tidak dinodai oleh kedustaan dan pergunjingan. (HR. Ahmad, An Nasa`i, dan Ibnu Majah).

Ketiga, Allah memberikan keistimewaan kepada ahli puasa dengan menjadikan bau mulutnya ada nilainya. Sehingga Rasul bertutur demikian, “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih semerbak di sisi Allah dari bau minyak misik.”

Keempat, Allah memberikan dua kebahagiaan bagi ahli puasa, yaitu bahagia saat berbuka dan pada saat bertemu dengan Allah kelak. Orang yang berpuasa dalam santapan bukanya meluapkan rasa syukurnya di mana bersyukur termasuk salah satu ibadah dan dzikir.

Syukur yang terungkap dalam kebahagiaan karena telah diberi kemampuan oleh Allah untuk menyempurnakan puasa di hari tersebut sekaligus berbahagia atas janji pahala yang besar dari-Nya. “Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan. Yaitu berbahagia kala berbuka dan kala bertemu Allah.” (kata Rasul dalam hadits riwayat imam Muslim).

Kelima, puasa telah dijadikan oleh Allah sebagai medan untuk menempa kesehatan dan kesembuhan dari beragam penyakit. “Berpuasalah kalian, niscaya kalian akan sehat.” (HR. Ibnu Sunni dan Abu Nu`aim).

Abuya menegaskan bahwa rahasia kesehatan di balik ibadah puasa adalah bahwa puasa menempa tubuh kita untuk melumatkan racun-racun yang mengendap dalam tubuh dan mengosongkan materi-materi kotor lainnya dari dalam tubuh.

Menurut kerangka berpikir Abuya, puasa ialah fasilitas kesehatan bagi seorang hamba guna meningkatkan kadar ketakwaan yang merupakan tujuan utama puasa itu sendiri. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Qs. Al Baqarah: 183).

Keenam, keutamaan berikutnya yang Allah berikan kepada ahli puasa adalah dengan menjauhkan wajahnya dari siksa api neraka. Matanya tak akan sampai melihat pawai arak-arakan neraka dalam bentuk apapun. Rasul yang mulia berkata demikian, “Barangsiapa berpuasa satu hari demi di jalan Allah, dijauhkan wajahnya dari api neraka sebanyak (jarak) tujuh puluh musim.” (HR. Ahmad, Bukhari-Muslim, dan Nasa`i).

Ketujuh, dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (QS. At Taubah: 112).

Sebagian ulama ahli tafsir menerangkan bahwa orang –orang yang melawat (As Saihuun) pada ayat tersebut adalah orang yang berpuasa sebab mereka melakukan lawatan (kunjungan) ke Allah. Makna lawatan, tegas Abuya, di sini adalah bahwa puasa merupakan penyebab mereka (orang yang berpuasa) bisa sampai kepada Allah. Lawatan ke Allah ditandai dengan meninggalkan seluruh kebiasaan yang selama ini dilakoni (makan, minum, mendatangi istri di siang hari) serta menahan diri dari rasa lapar dan dahaga.

Sembari mengutip al-Qur’an pula, Abuya mencoba menganalisa surah Az Zumar ayat 10: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”

Orang-orang yang bersabarlah maksudnya adalah orang yang berpuasa sebab puasa adalah nama lain dari sabar. Di saat berpuasalah, orang-orang yang bersabar (dalam beribadah puasa) memperoleh ganjaran dan pahala yang tak terhitung banyaknya dari Dzat Yang Maha Pemberi, Allah swt.

Kedelapan, di saat puasa inilah Allah memberi keistemewaan dengan menjadikan segala aktivitas orang yang berpuasa sebagai ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Karenanya, orang yang berpuasa dan ia meninggalkan ucapan yang tidak berguna (diam) adalah ibadah serta tidurnya dengan tujuan agar kuat dalam melaksanakan ketaatan di jalan-Nya juga ibadah. Dalam satu hadits riwayat Ibnu Mundih dinyatakan, “Diamnya orang yang berpuasa adalah tasbih, tidurnya merupakan ibadah, dan doanya akan dikabulkan, serta perbuatannya akan dilipatgandakan (pahalanya).”

Tentu, tidak dimaksudkan bahwa puasa itu dipenuhi dengan tidur. Bahkan harus sebaliknya, jauh lebih keras.Hanya saja, nilai tidur orang berpuasa di hadapan Allah berbeda dengan tidurnya orang yang tidak berpuasa.

Kesembilan, di antara cara yang Allah memuliakan orang yang berpuasa, bahwa Allah menjadikan orang yang memberi makan berbuka puasa pahalanya sama persis dengan orang yang berpuasa itu sendiri meski dengan sepotong roti atau seteguk air. Dalam satu riwayat Nabi bertutur, “seseorang yang memberi makan orang yang puasa dari hasil yang halal, akan dimintakan ampunan oleh malaikat pada malam-malam Ramadhan…meski hanya seteguk air.” (Hr. Abu Ya`la).
Baca lebih lanjut

Iman itu bisa berkurang dan juga bisa bertambah. Dia akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Juga bisa bertambah dengan beristiqamah dan berkurang dengan penyimpangan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (ba-lasan) ketakwaannya.” [Muhammad: 17]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

“Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada) ….” [Al-Fat-h: 4]

Dengan demikian, puasa merupakan ibadah yang paling mulia sekaligus paling agung. Di mana setiap syi’ar yang ada padanya merupakan syi’ar ta’abbudiyyah yang disyari’atkan yang bisa menambah keimanan. Oleh karena itu, orang-orang shalih di setiap zaman dan tempat mengetahui bahwa pada bulan Ramadhan terdapat suatu makna yang tidak diketahui oleh orang lain. Sehingga dengan demikian, mereka memperoleh keberuntungan yang tidak diperoleh orang lain, di mana mereka berhasil menyucikan jiwa, menjernihkan diri serta membela kebenaran. Selain itu, hati mereka dipenuhi dengan cahaya, dan lisanul hal mereka mengatakan, “Ini adalah jalan menuju jihad di jalan Allah sekaligus penegakan kalimat-Nya.”

Syaikh Abdullah bin Mahmud mengatakan, “….Bulan Ramadhan adalah bulan kesungguhan dan kegigihan sekaligus sebagai ladang bagi hamba-hamba-Nya. Juga sebagai sarana untuk menyucikan hati dari kerusakan, pembelengguan nafsu syahwat, kejahatan, dan kedurhakaan. Oleh karena itu, barangsiapa yang menanam kebaikan, maka akibat baiknya akan kembali kepadanya. Pada saat hari panen, pintu-pintu Surga akan dibuka untuknya dan di-tutup semua pintu Neraka. Yang demikian itu disebabkan oleh kesungguhan manusia dalam beribadah dan juga upaya mereka untuk berlomba-lomba dalam beramal shalih, di antaranya adalah memperbanyak shalat, membuka tangan mereka untuk bershadaqah, menyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada kaum fakir miskin dan anak-anak yatim juga orang-orang yang mem-butuhkan, serta memperbanyak do’a, istighfar, dan bacaan al-Qur-an…”
Baca lebih lanjut

Kelebihan Kurma Dalam Bulan Puasa

Puasa bukan hanya kegiatan yang harus dilakukan untuk memenuhi kewajiban keagamaan. Di luar tujuan rohani, puasa juga dapat menjaga kesehatan apabila dilakukan dengan benar, misalnya mengatur pola makan. Dengan menurunkan porsi makanan berat, puasa Sebetulnya baik bagi lambung karena waktu makan lebih teratur, dan jenis makanan lebih terstruktur. Baca lebih lanjut

A. Penentuan Awal Ramadhan dengan Hisab dan Rukyah Menurut Fuqaha

Fuqaha telah sepakat bahwa bulan Arab berisi 29 atau 30 hari, dan bahwa yang dijadikan pertimbangan dalam penetapan bulan Ramadhan ialah rukyah (melihat bulan).[1] Sebagaimana sabda Nabi Saw:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِِهِ وَاَفْطِرُوْالِرُؤْيَنِهِ[2]

”Berpuasalah karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat bulan”.

Rukyah yang dipegang jumhur ulama berpegang pada nash hadits tersebut. Memang yang diwajibkan adalah berpuasanya, bukan rukyahnya. Namun karena perintah rukyah itu berkaitan dengan suatu hal yang bersifat wajib, maka perintah itupun menjadi wajib. Kemudiaan fuqaha berselisih pendapat tentang persoalan, apabila bulan tertutup oleh awan dan tidak mungkin dilakukan rukyah.[3]

Mengenai persoalan tertutupnya bulan, maka Jumhur fuqaha berpendapat bahwa dalam keadaan demikian bilangan bulan harus disempurnakan menjadi 30 hari, dan permulaan Ramadhan dimulai pada hari ke-31.[4]

Dan para fuqaha juga sepakat dengan satu kata bahwa seorang yang sendirian melihat hilal Ramadhan maka dia wajib berpuasa walaupun semua orang tidak berpuasa, sedangkan jika dia tidak berpuasa maka dia harus mengqadla dan kifarat.[5]

Sedangkan penentuan awal Ramadhan dengan hisab ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan tidak boleh dengan hisab. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya penentuan awal Ramadhan hanya dengan rukyah atau menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari apabila langit tidak cerah.[6] Sedang sebagian yang lain menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan adalah dengan hisab disamping menggunakan rukyah. Diantara alasan mereka adalah bahwa hisab akan sangat diperlukan pada saat rukyah tidak dapat mengatasinya seperti keadaan orang yang berada dalam daerah abnormal.[7]

Silang pendapat ini disebabkan karena adanya ketidakjelasan pada sabda Nabi saw:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِِهِ وَاَفْطِرُوْالِرُؤْيَنِهِ فَإِنْغُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْالَهُ

”Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan, jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka kira-kirakanlah.”

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kata-kata ”kira-kirakanlah” berarti ”sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari”. Ada pula fuqaha[8] yang berpendapat bahwa penafsirannya adalah ”kirakanlah dengan memakai hisab (perhitungan)”, dan hadits ini juga yang digunakan para ahli hisab sebagai dasarnya.[9]

Alasan jumhur fuqaha memegangi penafsiran tersebut adalah karena adanya hadits shahih Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi Saw bersabda:

فَإِنْغُمَّ عَلَيْكُمْ فَاكْمِلُواالْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

”Jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh hari.”

Sementara itu Imam Abu al-Abbas Ibnu Suraij (306 H/918 M), seperti dikutip oleh Ibn al-’Arabi, mengajukan cara mengompromikan antara hadits-hadits yang menggunakan frase faqduru lahu (maka kadarkanlah ia) dengan hadits-hadits yang menggunakan frase fa akmilu al-’iddah (maka sempurnakanlah bilangan bulan itu) dengan mengatakan:

…..bahwa sesungguhnya sabda Nabi saw faqduru lahu merupakan khitab yang ditujukan pada orang-orang yang khusus memiliki kemampuan hisab, sedangkan sabda Nabi saw fa akmilu al-’iddah adalah yang ditujukan bagi masyarakat umum.[10]
Baca lebih lanjut

1. Perbedaan Dalam Menentukan Peran Hisab dan Rukyat.

Merujuk kepada dalil tentang rukyat, sebagaimana telah dikemukakan, para ahli fikih berbeda pendapat mengenai kedudukan serta peran hisab dan rukyat dalam penentuan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadhan dan Syawal.

Sebagian fuqaha‟ berpendapat bahwa penentuan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadhan dan Syawal, adalah berdasarkan rukyat hilal. Pendapat ini berdasarkan metode mengqiyaskan hukum bulan selain bulan Ramadhan dan Syawal dengan kedua bulan tersebut yang berdasarkan hadis Nabi tentang rukyat, dan adat kebiasaan masyarakat Arab. Fuqaha‟ lainnya berpendapat bahwa penentuan awal bulan selain Ramadhan dan Syawal adalah berdasarkan hisab „urfi atau hisab haqiqi, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Quran.

Pendapat-pendapat tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kelompok pertama adalah mereka yang memberikan kedudukan serta peran utama bagi rukyat dengan “mata telanjang”, dan mengkesampingkan sama sekali peran hisab. Termasuk kelompok ini adalah fuqaha‟ Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah, dan pengikut Ibnu Hajar dari kalangan Syafi‟iyah. Menurut kelompok ini, rukyat dapat diterima meskipun bertentangan dengan perhitungan hisab, sekalipun cuaca mendung. Hisab sama sekali tidak dapat dijadikan pedoman bagi orang awam, kecuali hanya bagi ahli hisab saja. Menurut mereka, puasa berdasarkan hisab adalah tidak sah. Kaum Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa rukyat berlaku untuk seluruh dunia. Sedangkan menurut pengikut Ibnu Hajar, rukyat hanya berlaku untuk wilayah seluas satu mathla‟ (80 km atau sejauh delapan derajat busur, atau delapan menit perbedaan waktu).
2. Kelompok kedua memberikan kedudukan serta peran utama kepada rukyat dan peran hisab adalah sebagai pelengkap. Termasuk kelompok ini adalah pengikut Imam al-Ramli dari golongan Syafi‟iyah. Menurut kelompok ini, ketetapan ilmu hisab berlaku bagi ahli hisab dan orang-orang yang membenarkannya. Mereka berpendapat bahwa hisab hanya sebagai alat pembantu, sedangkan rukyat adalah sebagai penentu.
3. Kelompok ketiga memberikan kedudukan serta peran utama kepada hisab, dan peran rukyat adalah sebagai pelengkap. Menurut kelompok ini, rukyat dapat diterima bila tidak bertentangan dengan hisab. Apabila ahli hisab berkesimpulan bahwa hilal mungkin dapat dilihat jika tidak terhalang mendung atau partikel lainnya, maka hari berikutnya merupakan awal Ramadhan atau Syawal.
4. Kelompok keempat adalah kelompok yang memberikan kedudukan serta peran utama kepada hisab, mengkesampingkan sama sekali kedudukan serta peran rukyat dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal. Sebagian kelompok ini berpendapat bahwa dasar penentuan awal Ramadhan adalah wujudnya hilal, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan kedua bulan tersebut adalah imkanur rukyah dengan kriteria umur bulan 14 jam, lama hilal dapat dilihat 42 menit, tinggi hilal 05 derajat dengan sudut sinar 08 derajat, tinggi hilal 02 derajat dengan umur 08 jam. Baca lebih lanjut