Category: Ilmu Islam


 
Al-Imam Al-’Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullahu menyebutkan secara panjang lebar dampak negatif dari dosa. 15 di antaranya bisa kita sebutkan di sini sebagai peringatan:

  • (1). Terhalang dari ilmu yang haq (benar / lurus). Karena ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, sementara maksiat akan memadamkan cahaya.

Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu belajar kepada Al-Imam Malik Rahimahullahu, Al-Imam Malik terkagum-kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i.

Al-Imam Malik pun berpesan pada muridnya ini,

“Aku memandang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memasukkan cahaya ilmu di hatimu. Maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”

  • (2). Terhalang dari beroleh rezeki dan urusannya dipersulit.

Takwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mendatangkan rezeki dan memudahkan urusan seorang hamba

Sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya);

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar (dari permasalahannya) dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”

(QS. Ath-Thalaaq [65]  : 2-3).

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

(QS. Ath-Thalaq [65] : 4).

Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.

  • (3). Hati terasa jauh dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan merasa asing dengan-Nya, sebagaimana jauhnya pelaku maksiat dari orang-orang baik dan dekatnya dia dengan setan.
  • (4). Menggelapkan hati si hamba sebagaimana gelapnya malam. Karena ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam hati, akan bertambah pula kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara yang membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta yang keluar sendirian di malam yang gelap dengan berjalan kaki.

Bila kegelapan itu semakin pekat akan tampaklah tandanya di mata si hamba. Terus demikian, hingga tampak di wajahnya yang menghitam yang terlihat oleh semua orang.

  • (5). Maksiat akan melemahkan hati dan tubuh, karena kekuatan seorang mukmin itu bersumber dari hatinya. Semakin kuat hatinya semakin kuat tubuhnya. Adapun orang fajir/pendosa, sekalipun badannya tampak kuat, namun sebenarnya ia selemah-lemah manusia.
  • (6). Maksiat akan ‘memperpendek‘ umur dan menghilangkan keberkahannya, sementara perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya.

Mengapa demikian?

Karena kehidupan yang hakiki dari seorang hamba diperoleh bila hatinya hidup. Sementara, orang yang hatinya mati walaupun masih berjalan di muka bumi, hakikatnya ia telah mati.

Oleh karenanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan orang kafir adalah mayat dalam keadaan mereka masih berkeliaran di muka bumi:

“Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak hidup.”

(QS. An-Nahl [16] : 21).

Dengan demikian, kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia adalah hitungan kehidupannya. Berarti, umurnya tidak lain adalah waktu-waktu kehidupannya yang dijalani karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, menghadap kepada-Nya, mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Di luar itu, tidaklah terhitung sebagai umurnya.

Bila seorang hamba berpaling dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan maksiat, berarti hilanglah hari-hari kehidupannya yang hakiki. Di mana suatu hari nanti akan jadi penyesalan baginya:

“Aduhai kiranya dahulu aku mengerjakan amal shalih untuk hidupku ini.”

(QS. Al-Fajr [89] : 24).

  • (7). Satu maksiat akan mengundang maksiat lainnya, sehingga terasa berat bagi si hamba untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf:

“Termasuk hukuman perbuatan jelek adalah pelakunya akan jatuh ke dalam kejelekan yang lain. Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain.

Seorang hamba bila berbuat satu kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata, ‘Lakukan pula aku.’

Bila si hamba melakukan kebaikan yang kedua tersebut, maka kebaikan ketiga akan berucap yang sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi berlipatgandalah keuntungannya, kian bertambahlah kebaikannya. Demikian pula kejelekan….”

  • (8). Maksiat akan melemahkan hati dan secara perlahan akan melemahkan keinginan seorang hamba untuk bertaubat dari maksiat, hingga pada akhirnya keinginan taubat tersebut hilang sama sekali.
  • (9). Orang yang sering berbuat dosa dan maksiat, hatinya tidak lagi (tidak sensitif/peka) merasakan jeleknya perbuatan dosa. Malah berbuat dosa telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia dan acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga dengan maksiat yang dilakukannya.

Bila sudah seperti ini model seorang hamba, ia tidak akan dimaafkan, sebagaimana Sabda dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa sallam:

“Setiap umatku akan dimaafkan kesalahan/dosanya kecuali orang-orang yang berbuat dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek yang dilakukannya tersebut[2] namun di pagi harinya ia berkata pada orang lain, “Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal ia telah bermalam dalam keadaan Rabbnya menutupi kejelekan yang diperbuatnya. Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri tutupan (tabir) Allah yang menutupi dirinya.”

(HR. Al-Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 7410).

  • (10). Setiap maksiat yang dilakukan di muka bumi ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

-Perbuatan HOMOSEKSUAL adalah warisan kaum Luth.

– Mengambil hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan menguranginya, adalah warisan kaum Syu’aib.

– Berlaku sombong di muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Sombong dan tinggi hati adalah warisan kaum Hud.

  • (11). Maksiat merupakan sebab dihinakannya seorang hamba oleh Rabbnya.

Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan seorang hamba maka tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.

“Siapa yang dihinakan Allah niscaya tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.”

(QS. Al-Hajj [22] : 18).

Walaupun mungkin secara zhahir manusia menghormatinya karena kebutuhan mereka terhadapnya atau mereka takut dari kejelekannya, namun di hati manusia ia dianggap sebagai sesuatu yang paling rendah dan hina.

  • (12). Bila seorang hamba terus menerus berbuat dosa, pada akhirnya ia akan meremehkan dosa tersebut dan menganggapnya kecil. Ini merupakan tanda kebinasaan seorang hamba. Karena bila suatu dosa dianggap kecil maka akan semakin besar di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullahu dalam Shahih-nya (no. 6308) menyebutkan ucapan sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu:

“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”

  • (13). Maksiat akan merusak akal. Karena akal memiliki cahaya, sementara maksiat pasti akan memadamkan cahaya akal. Bila cahayanya telah padam, akal menjadi lemah dan kurang.

Sebagian salaf berkata:

“Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hilang akalnya.”

Hal ini jelas sekali, karena orang yang hadir akalnya tentunya akan menghalangi dirinya dari berbuat maksiat. Ia sadar sedang berada dalam pengawasan-Nya, di bawah kekuasaan-Nya, ia berada di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala, di bawah langit-Nya dan para malaikat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyaksikan perbuatannya.

  • (14). Bila dosa telah menumpuk, hatipun akan tertutup dan mati, hingga ia termasuk orang-orang yang lalai. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya);

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.”

(QS. Al-Muthaffifin [83] : 14).

Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas: “Itu adalah dosa di atas dosa (bertumpuk-tumpuk) hingga mati hatinya.”[3]

  • (15). Bila si pelaku dosa enggan untuk bertaubat dari dosanya, ia akan terhalang dari mendapatkan doa para malaikat. Karena malaikat hanya mendoakan orang-orang yang beriman, yang suka bertaubat, yang selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya);

“Malaikat-malaikat yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman, seraya berucap, ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shalih di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semuanya. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha memiliki hikmah. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan pada hari itu maka sungguh telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar’.”

{QS. Ghafir (Al-Mu’min [40] ): 7-9}.

Demikian beberapa pengaruh negatif dari perbuatan dosa dan maksiat yang kami ringkaskan dari kitab Ad-Da`u wad Dawa`, karya Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahu hal. 85-99.

Semoga dapat menjadi peringatan. Setiap hari kita tenggelam dalam kenikmatan yang dilimpahkan oleh Ar-Rahman. Nikmat kesehatan, keamanan, ketenangan, rezeki berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Belum lagi nikmat iman bagi ahlul iman. Sungguh, dalam setiap tarikan nafas, ada nikmat yang tak terhingga. Namun sangat disesali, hanya sedikit dari para hamba yang mau bersyukur:

“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.”

(QS. Saba’ [34] : 13).

Kebanyakan dari mereka mengkufuri nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Atau malah mempergunakan nikmat tersebut untuk bermaksiat dan berbuat dosa kepada Ar-Rahman. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kepada mereka banyak kebaikan namun mereka membalasnya dengan kejelekan.

Demikianlah keadaan manusia, setiap harinya selalu berbuat dosa. Kita pun tak luput dari berbuat dosa, baik karena tergelincir ataupun sengaja memperturutkan hawa nafsu dan bisikan setan yang selalu menggoda. Amat buruklah keadaan kita bila tidak segera bertaubat dari dosa-dosa yang ada dan menutupinya dengan berbuat kebaikan. Karena perbuatan dosa itu memiliki pengaruh yang sangat jelek bagi hati dan tubuh seseorang, di dunianya ini maupun di akhiratnya kelak.

Wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.

Ramadhan yang dirindukan menjelang. Lantas bagaimana dengaGambarn agenda mesra para suami istri ? Apakah romantis harus kita tangguhkan terlebih dahulu hingga lebaran tiba ? Sanggupkah kita ? Jika tidak, adakah alternatif lainnya ?.Sebelum berbicara lebih jauh tentang kemesraan selama bulan Ramadhan, ada sebuah hadits yang perlu kita renungkan terlebih dahulu. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda ketika Ramadhan datang menjelang : ” Sungguh telah datang padamu sebuah bulan yang penuh berkah dimana diwajibkan atasmu puasa di dalamnya, (bulan) dibukanya pintu-pintu surga, dan ditutupnya pintu-pintu neraka jahannam, dan dibelenggunya syaitan-syaitan, Di dalamnya ada sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Barang siapa diharamkan dari kebaikannya, maka telah diharamkan (seluruhnya) “(HR Ahmad, Nasa�i dan Baihaqi)

Ramadhan sering datang dengan tiba-tiba, dan berlalu begitu cepat tanpa terasa. Ia adalah momentum termahal yang pernah kita punya untuk mendulang pahala. Ini mirip bulan promosi dan besar-besaran yang ditawarkan di pusat-pusat perbelanjaan. Kebaikan nilai pahalanya menjadi berlipat-lipat, semua orang berburu memborongnya. Saya sering mengibaratkan Romadhon itu : Bagaikan kita mendapat �hadiah� di sebuah pusat perbelanjaan. Kita diberi kesempatan untuk mengambil semua barang belanja di dalamnya, namun hanya dalam waktu sepuluh menit ! Allah SWT menggambarkannya dalam Al-Qur�an : ” (yaitui) dalam beberapa hari yang tertentu” ( QS Al-Baqarah 184) Baca lebih lanjut

Sholat Taubat dalam Islam

Dalil Shalat Taubat
Hadits sahih riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad dalam Musnad .

مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ

Artinya: Tidaklah seorang hamba berbuat satu dosa, lalu ia bersuci dengan baik, lalu berdiri untuk shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah, melainkan Allah akan mengampuni dosanya.

Kemudian Nabi membaca surat Ali Imron 3:135

،ثم قرأ هذه الآية: [وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
Baca lebih lanjut

Dari sebuah buku dengan cover buku warna hijau dengan judul “Menyingkap Rahasia Yasin Fadhilah dan Keampuhannya”. Aku segera membelinya. Buku tersebut ditulis oleh KH. Muhammad Zain Muallif. Setelah selesai membaca buku tersebut, aku bersyukur kepada kakek yang telah menunjukkan Yasin Fadhilah. Semoga segala amal ibadah kakek diterima disisi-Nya.
(HR. Imam Muslim).Yasin Fadilah
Menurut KH. Muhammad Zain Muallif, ternyata Yasin Fadhilah itu tidak ada dalam Kitab Suci Al-Quran. Yasin Fadhilah itu adalah Surat Yasin yang sudah diberi lima macam tambahan sbb:

1. Di antara ayat Surat Yasin ada yang diulang sampai tiga kali atau lebih.

Mengulang-ulang satu ayat ada contoh dari Rasulullah Saww sebagaimana disampaikan oleh Abu Dzarrin ra beliau berkata:

“Nabi Saww pernah bangun malam dengan membaca sebuah ayat dan mengulang-ulang ayat itu, sehingga sampai pada pagi hari. Ayat tersebut adalah:

In tu’adzdzibhum fa innahum ‘ibaaduka (Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu)”.

(HR.Imam Nasa’I dan Ibnu Majah).

2. Di antara beberapa ayat yang satu dan yang lain diselingi dzikir dan do’a. Isinya selalu disesuaikan atau berkaitan dengan isi kandungan ayat tersebut.

Berdzikir dan berdo’a yang demikian, sangat sesuai dengan sebuah hadits yang bersumber dari sahabat Hudzaifah bin Al-Yaman ra beliau berkata:

“Pada malam hari saya pernah shalat bersama Nabi Saww, lalu beliau membuka Surat Al-Baqarah, Surat Ali Imraan, dan Surat An-Nisaa’ kemudian membacanya dengan tartil. Apabila beliau melewati ayat yang didalamnya terdapat tentang mensucikan Allah, maka beliau membaca “Sumhaanallaah.” Apabila beliau melewati (ayat) tentang permohonan, maka beliau memohon (berdo’a) dan apabila beliau melewati (ayat) tentang permohonan perlindungan, maka beliau memohon perlindungan kepada Allah.”
Baca lebih lanjut

Tanya: “Ustadz benarkah bahwa mencium tangan orang dan membungkukkan badan maka hal tersebut bukanlah syariat Islam melainkan ajaran kaum feodalis? Jika demikian, mohon dijelaskan. Jazakumullah”.

Jawab:

Ada beberapa hal yang ditanyakan:

Pertama, masalah cium tangan

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,

Menyayangi dan Menghormati Ibu

“Tentang cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih dari Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium tangan seorang ulama (baca:ustadz atau kyai) jika memenuhi beberapa syarat berikut ini.

1. Cium tangan tersebut tidaklah dijadikan sebagai kebiasaan. Sehingga pak kyai terbiasa menjulurkan tangannya kepada murid-muridnya. Begitu pula murid terbiasa ngalap berkah dengan mencium tangan gurunya. Hal ini dikarenakan Nabi sendiri jarang-jarang tangan beliau dicium oleh para shahabat. Jika demikian maka tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagaimana kita ketahui dalam pembahasan kaedah-kaedah fiqh.
Baca lebih lanjut

Secara umum dari sisi etimologi, bahwa nasakh berarti mengangkat atau menghilangkan, di samping juga ada pengertian nasakh yang berarti menyalin (nasakh tu kitab = saya menyalin kitab). Tapi secara umum, terutama berkaitan dengan permasalahan ini, nasakh berarti mengubah, mengangkat, atau mengganti ketentuan yang ada. Sehingga, nasakh di dalam persepsi kajian Ilmu Fiqh adalah mengganti hukum-hukum yang sudah ada dengan hukum baru yang datang setelah itu. Karena itu, untuk mengetahui nasakh dan mansukh ini, maka harus diketahui mana ayat-ayat yang dianulir dan mana ayat-ayat yang ditetapkan untuk menggantikan posisi ayat yang pertama. Dalam hal ini, persyaratan yang menggantikan itu harus yang datang kemudian. Karena itulah, juga harus diketahui kapan ayat tersebut turun.

Seni Menambah Khusyuk dalam Ibadah

Pada prinsipnya, nyaris menjadi suatu kesepakatan seluruh Umat Islam sejak zaman Rasulullah hingga kini, bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang sudah kadaluwarsa (mansukh). Dalam hal ini, kecuali satu orang yang tidak menyetujui, yaitu Abu Muslim Al-Isfahani. Beliau ini menentang habis-habisan terjadinya nasakh dan mansukh di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Menurutnya, kalau ada suatu ayat, kemudian ayat tersebut dinyatakan kadaluwarsa, berarti ada hukum Allah yang memang tidak layak pakai. Dan Allah sangat mustahil menentukan sebuah ketentuan yang tidak layak pakai. Baca lebih lanjut

Ustadz, apa hukumnya memakai kontak lens berwarna untuk mendapatkan mata yang lebih indah, apakah sama dengan menyambung rambut atau sama dengan memakai make-up

Jawaban :

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Inti jawabannya bahwa pada hakikatnya pemakaian kontak lens itu dibolehkan, walaupun tujuannya untuk kecantikan atau memperbaiki penampilan. Namun hukumnya akan berubah sesuai dengan keadaannya yang mengikutinya.

Melihat sebuah ketulusan

Baca lebih lanjut

Golden Section juga dikenal dengan nama The Golden Mean, Golden Ratio, dan Divine Proportion (The Golden Section). Dijabarkan sebagai sebuah rasio yang berasal dari huruf Yunani : phi Op), rasio the golden mean sama dengan atau mendekati bilangan 1.618033988749895 or (1+’q5)/2 (The Golden Mean, MathSoft Constants) yang termasuk di dalamnya satu set konstruksi geometrik untuk memisahkan satu ruas garis menjadi banyak bagian dimana nilai rasio/perbandingan garis yang panjang berbanding total panjang garis sama dengan atau mendekati nilai perbandingan dari garis yang pendek berbanding dengan garis yang panjang (The Golden Section).

The Golden Mean sebagai sebuah rasio/perbandingan kompleks yang berasal dari huruf Yunani phi ((p) menggambarkan satu set figur geometrik yang termasuk di dalamnya ; garis, segiempat, dan spiral. Figur-figur tersebut jika digambar sesuai dengan the Divine proportion dianggap sebagai bentuk yang sempurna dan paling memuaskan secara estetis. The Golden Section telah digunakan sejak jaman klasik dalam berbagai penerapan termasuk dalam bidang seni, arsitektur, dan spiritual karena pendekatannya terkait dengan hal yang bersifat ideal dan tentunya menyentuh sisi-sisi ketuhanan sebagai sesuatu yang absolut.
Baca lebih lanjut

Belajar Tawadhu dalam Islam

Islam tidak mengajarkan umatnya untuk jadi orang yang sok tahu, bicara sana bicara sini tanpa tahu ilmunya. Tidak ada ajaran dalam agama ini yang menganjurkan kita untuk menjadi orang yang harus tampil di semua bidang. Sifat kerendahan diri sangat digalakkan di mana setiap muslim harus berhati-hati dengan apa yang ia bicarakan, bahkan Islam mengajarkan kita untuk diam, kalau memang itu bukan bidang kita.

“Dan janganlah kau berdiri (berbicara) pada sesuatu yang kau tidak ketahui” (QS Al-Isro 36)
Para sahabat Nabi Ridhwanullahi ‘Alaihim, ketika ditanya oleh Nabi saw tentang suatu perkara, tidak ada satu pun dari mereka yang ingin tampil agar di pandang oleh Nabi kemudian menjawab pertanyaan tersebut. Mereka dengan ke-tawadhu’an mereka menjawab: “Allahu wa Rasuluhu A’lam” (Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui ini) Baca lebih lanjut

Menangisnya Rasulullah Mengguncangkan Arsy

Dikisahkan, bahwasanya di waktu Rasulullah s.a.w. sedang asyik bertawaf di Ka’bah, beliau mendengar seseorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: “Ya Karim! Ya Karim!”

Rasulullah s.a.w. menirunya membaca “Ya Karim! Ya Karim!” Orang itu Ialu berhenti di salah satu sudut Ka’bah, dan berzikir lagi: “Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah s.a.w. yang berada di belakangnya mengikut zikirnya “Ya Karim! Ya Karim!” Merasa seperti diolok-olokkan, orang itu menoleh ke belakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah, lagi tampan yang belum pernah dikenalinya. Orang itu Ialu berkata:

“Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkanku, karena aku ini adalah orang Arab badwi? Kalaulah bukan kerana ketampananmu dan kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.” Baca lebih lanjut