Berbicara tentang dimensi seni bahasa dan wahyu tentu tidak terlepas dari bahasa al-Quran. Karena gabungan dari format dan substansi sebuah ungkapan dalam sebuah bentuk seni merupakan media khusus dari jenis penyampaian. Di sisi lain, kajian bahasa al-Quran terkait erat dengan sisi teoritis pembahasan kita sekaligus pengantar kajian bentuk-bentuk seni al-Quran dan hal ini membuat kami perlu menjelaskan pengantar ini.
Sebagai contoh, di penghujung kajian bahasa al-Quran kami akan membahas juga tentang apakah bahasa al-Quran merupakan simbol? Bila demikian adanya, sejauh mana batasannya? Apa keterbatasan penyampaian simbol dan jawaban terhadap kemungkinannya? Apakah secara prinsip, mungkinkah kita dapat memahami bahasa simbol-seni al-Quran (dengan memperhatikan salah satu bentuk penyampaian sastera adalah simbol)? Dan atas prinsip dan metode tafsir atau takwil apa kita menerima bahwa al-Quran punya gaya tersendiri dan berbeda dengan teks-teks lainnya?

Kisah-kisah merupakan bagian tak terpisahkan dari al-Quran. Substansi yang ada dalam kisah-kisah itu disampaikan dalam format yang berbeda dari bentuk biasa penulisan sebuah kisah, gaya periwayatan. Di sinilah ketika kami mengatakan bahwa sebelum memasuki pembahasan metode seni al-Quran kita tidak menyatakan prinsip apa yang kita pakai terkait posisi simbol dalam al-Quran dan sebab-sebab pemakaiannya, niscaya kita akan mengalami masalah dalam pembahasan kisah-kisah al-Quran sebagai bentuk khusus dari penyampaian. Artinya, kita akan mengambil sikap seperti para pemikir kontemporer yang menyatakan bahwa seluruh kisah al-Quran hanya sekedar simbol, tidak lebih (dan ini berarti kita telah mengesampingkan sebuah pengertian yang disebut al-Quran dengan istilah “hidayah”. Dan bila kita meyakini semua kisah yang ada dalam al-Quran bukan simbol, niscaya kita akan terkungkung dalam dimensi lahiriah kisah-kisah tersebut. Di sini kita terkadang lupa betapa sebagian dari kisah-kisah selain al-Quran punya perbedaan yang cukup esensial dari sisi struktur.

Pengertian Bahasa al-Quran

Karya-karya peneliti terdahulu sebenarnya tidak kosong seluruhnya dari kajian bahasa al-Quran. Namun untuk menemukan metode modern pembacaan teks dengan bantuan ilmu semantik dan hermeneutik masih harus perlu penelitian mendalam, bila kita tidak ingin mengatakan masih kosong. Selain satu atau dua peneliti warga negara Arab, para peneliti al-Quran kontemporer tidak banyak melakukan riset dengan metode ini. Kini, sebagai sebuah perbandingan, dalam pembahasan yang berhubungan dengan hasil-hasil yang dicapai filsafat tentang agama, maka kini diperkenalkanlah apa yang disebut filsafat agama. Nah, bahasa agama yang dikaji dalam filsafat agama yang disampaikan secara umum itu dikajis secara serius dan khusus dalam studi bahasa al-Quran, di mana setidak-tidaknya hal itu dikaji dalam masalah kemungkinan memahami bahasa al-Quran.

Dengan dasar ini, muncul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut: Apa sebenarnya makna dari pengertian-pengertian semacam ini yang bersumber dari bahasa al-Quran? Apa hubungannya dengan kesepakatan bahasa yang dipakai manusia? Mengapa bahasa al-Quran memakai simbol dan dalam kondisi seperti apa al-Quran memakainya? Apa kunci pembuka untuk memahami simbol-simbol tersebut dan bagaimana kita dapat sampai pada pengertian asli teks? Pendeknya, pertanyaan pokok dalam kajian bahwa al-Quran adalah bagaimana al-Quran berbicara? Saat menyampaikan pesannya. dalam format, konteks dan kondisi seperti apa al-Quran berbicara, sehingga dengan cara pandang itu kita dapat mengkaji al-Quran?

Kita tahu bahwa bagian dari hermeneutik modern adalah mengkaji metode-metode pemahaman dan takwil teks-teks suci sebagai karya sastera. Yakni, deskripsi bahasa simbol teks-teks suci dengan asumsi bahwa substansinya dapat diketahui lewas penjelasan metodologi bahasa dan ada penjelasan bagi hakikat makna yang berbeda-beda. Masalah ini sangat penting buat memahami al-Quran. Karena kita akan mendapatkan kasus-kasus dalam al-Quran di mana penjelasan dan bahasanya dengan bagian-bagian lain sangat berbeda. Sebagai contoh di sebagian ayat proposisi al-Quran mutlak bersifat laporan dan langsung (seperti kasus-kasus penjelasan hukum-hukum syariat) dan terkadang proposisi al-Quran mengambil bentuk lain. Hal ini kembali pada penjelasan al-Quran sendiri yang menyebutkan bahwa sebagian dari ayat-ayat al-Quran dapat ditakwil dan penakwilan itu hanya diketahui oleh Allah dan mereka yang disebut “Rasikhuna fil Ilm” (orang-orang yang mendalam ilmunya, Ali Imran : 7).

Jelas, perubahan penyampaian akan mengetengahkan klasifikasi khusus dalam metode penyampaian al-Quran yang dapat dikaji juga dalam tema bahasa al-Quran. Kini, berbagai pertanyaa di kemukakan yang berhubungan erat dengan al-Quran, sementara jawabannya hanya dapat ditelusuri dalam riset mengenai bahasa al-Quran. Sebagai contoh, lihat beberapa kasus berikut ini:

1. Dalam al-Quran ada tema-tema yang bila dipandang secara lahiriah tidak dapat dijelaskan dengan sains modern seperti masalah tujuh langit dan penciptaan Nabi Adam as dari tanah.

2. Dalam al-Quran terdapat ayat-ayat al-Quran yang makna lahiriahnya tidak sesuai dengan akidah Islam seperti, “Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris” (al-Fajr : 22), “Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Arsy” (Thahaa : 5), “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat (al-Qiyamah : 22-23).

3. Pertanyaan-pertanyaan penting dan sulit biasanya terkait dengan kajian bahasa al-Quran dan itu terkait dengan masalah ayat-ayat al-Quran yang tidak kontinyu dan sinkron. Menurut sebagian pemikir, kekhususan gaya al-Quran dalam permulaan tahapan membaca adalah menarik perhatian dan tidak seperti biasanya, tidak kontinyu dan tidak memiliki bentuk lahiriah yang harmonis serta sistem yang normal dan biasa dipakai.[1] Sebagai bukti kita lihat betapa surat al-Baqarah yang menjadi surat terpanjang dalam al-Quran memiliki tema-tema yang berbeda-beda dan asing satu dengan lainnya. Thaha Husein membongkar perbedaan yang ada dengan menjelaskan kandungan yang berbeda-beda dari surat ini.[2]

Kini, kami harus mengatakan bahwa mayoritas pakar al-Quran menilai perbedaan dan tidak ada keserasian lahiriah dalam ayat-ayat al-Quran terkait erat dengan kekhususan bahasa al-Quran yang memiliki “sistem suci” yang berlaku berbeda dengan sistem rasional yang ada. Kami mengenal sebagian pakar yang ketika menghadapi isu ketidakserasian lahiriah ayat-ayat al-Quran berusaha menjawab masalah ini dengan mengingkarinya. Kelompok ini tidak sadar bahwa sekalipun kita menerima asumsi sebelumnya bahwa ketidakserasian lahiriah ayat-ayat al-Quran adalah sebuah kekhususan metode al-Quran, hal ini tidak menafikan keraguan terhadap al-Quran dan wahyu sebagai satu kesatuan, atau sederhananya, kedua masalah ini tidak melazimi yang lain. Kelompok ini seperti Arthur John Arbury yang meyakini bahwa fluktuasi tiba-tiba kandungan dan arti merupakan susunan alamiah al-Quran.

Baiklah, tapi dalam pembahasan ini kita mendapati betapa fluktuasi dan irama tidak ditemukan di seluruh al-Quran. Saat kita menemukan fluktuasi dan irama dalam ayat-ayat al-Quran hal itu menciptakan bentuk yang berbeda dari bahasa yang ada dan dampaknya adalah kita harus memahaminya dengan cara yang lain. Masalah keserasian ayat-ayat al-Quran dapat ditemukan di kebanyakan para pakar al-Quran muslim terdahulu. Jalaluddin al-Suyuthi dalam bukunya “Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul” di akhir ayat 88 surat Isra’ dengan gamblang dia menjelaskan masalah ini.[3]

Bahasa Al-Quran

Maksud dari bahasa al-Quran dalam tulisan ini bukan bahasa dengan makna leksikal sehingga dengan itu kita memaknai bahasa al-Quran adalah bahasa Arab yang tunduk dengan struktur bahasa Arab dengan nahwu dan sharafnya “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab” (Yusuf : 2). Bahasa al-Quran yang kami maksudkan adalah pilihan dan bentuk serasi dari penyampaian yang memiliki hubungan dengan pemahaman dan latar belakang pemikiran serta budaya yang disampaikan dalam sebuah format tertentu. Dengan dasar definisi ini kini kita dapat melihat al-Quran memakai bahasa apa ketika berbicara dengan manusia.

Tidak disangsikan bahwa bahasa al-Quran tidak sebagaimana bahasa manusia pada umumnya. Karena terkadang bahasa sangat toleran, tidak punya ketelitian awal dan aksiomatik. Dalil paling sederhana untuk menjelaskan masalah ini adalah sumber dari bahasa manusia pada umumnya adalah percakapan yang dilakukan antar mereka. Di sisi lain, ayat-ayat mutasyabihat al-Quran yang dipahami lewat takwil tidak akan dapat dipahami dengan cara pemahaman biasa.

Demikian juga, sekalipun al-Quran memiliki variabel yang dapat dilacak dalam bahasa Arab, namun jelas betapa al-Quran tidak mempergunakan keseluruhan metode sasteranya. Sebagai contoh, al-Quran tidak mempergunakan pengertian imajinasi dengan makna yang biasa dipergunakan dalam sastera terutama puisi. Karena dalam pengertian imajinasi selalu terkandung pengertian “kreasi” atau dengan kata lain membuat-buat. Sebuah pengertian yang berdasarkan kondisinya tidak hakiki dan jelas al-Quran tidak akan menggunakannya sesuai dengan posisinya. Sementara itu, sekalipun al-Quran menyampaikan pesannya dengan cara ilmiah, namun tidak menyampaikannya dengan bahasa ilmiah. Yakni, tidak dengan pengertian dan istilah ilmiah yang khusus dipakai para ilmuwan.

Sementra yang dimaksud dengan bahasa simbolik, sesuai dengan istilah, adalah bahasa yang dipakai tidak sesuai dengan arti awalnya. Tafsir yang ditulis dengan gaya sufi dan irfan lebih memakai bahasa yang demikian. Adanya sebagian simbol-simbol dalam al-Quran menunjukkan betapa al-Quran pun menggunakannya seperti penggunaan huruf muqattha’ah (huruf yang terputus-putus, cerita penciptaan (khususnya cerita sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam as), cerita pohon larangan, Nabi Adam as yang berbicara dengan malaikat, dialog Allah dengan malaikat, pengajaran nama-nama dan mengetahui kalimat oleh Nabi Adam as.

Bila kita ingin menyatakan bahwa bahasa yang lebih menguasai bahasa al-Quran adalah bahasa simbolik dengan bersandarkan ada contoh-contoh sebelumnya, maka tampaknya kita tengah mengambil sebuah metode yang akan bertentangan dengan tujuan penurunan al-Quran. Karena dalam kondisi ini, pesan ini al-Quran hanya sekedar sebuah pembicaraan dengan sejumlah khusus dari manusia-manusia pilihan seperti para Nabi dan Rasikhuna fil Ilm. Padahal sedikitnya satu level dari pemahaman al-Quran dikhususkan bagi orang-orang biasa seperti kita, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ali as yang menyebutnya sebagai makam “ibarat”.

Di sisi lain, al-Quran sendiri menilai dirinya sebagai “Dzikir” dan “Hidayah” yang tidak dikhususkan bagi kelompok tertentu “Bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia” (al-Baqarah : 185) dan “Dan Al Quran itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat” (al-Qalam : 52). Pembatasan bahasa al-Quran hanya untuk kelompok-kelompok tertentu tidak dapat diterima hanya dengan bukti kandungan al-Quran dan bahasa simbolik yang dipakainya.

Dengan demikian, bahwa al-Quran dengan sendirinya tidak termasuk dalam bagian dari yang telah disebutkan di atas, sekalipun mengandung contoh-contoh itu. Bahasa al-Quran adalah bahasa lain. Karena al-Quran adalah buku yang lain. Dengan memperhatikan betapa al-Quran menyampaikan ajaran-ajaran agama pamungkas, maka ia juga berisikan hal-hal yang dapat dipahami oleh masyarakat biasa. Artinya, setiap orang dapat memanfaatkannya sesuai dengan kemampuannya. Tentunya, maksud dari setiap orang bukan berarti tanpa syarat dan kondisi. Al-Quran sendiri menjelaskan bagi orang yang membacanya dengan niat memahami ada sifat-sifat tertentu buat mereka seperti “Mudzakkir” (pengingat) “Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran? (al-Qamar : 22), “Muslim” (berserah diri) “Petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (al-Nahl : 89), “Mukmin” (beriman) “Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (al-Isra’ : 82) dan lain-lain.

Ayat-ayat di atas membuktikan betapa al-Quran tidak dikhususkan bagi kelompok tertentu. Karena sekalipun al-Quran terkadang menggunakan cara penyampaian biasa, namun di sisi lain kita dapat melihat betapa banyak juga al-Quran tidak menggunakan pengertian-pengertian sederhana dan biasa. Contohnya adalah masalah takwil dan ayat-ayat mutasyabihat yang ada dalam al-Quran yang tidak mungkin dipahami langsung oleh setiap orang biasa. [Saleh Lapadi]

—————————————————————————

Catatan Kaki:

[1] . Sumber berikut ini menjawab masalah ini dengan melakukan perbandingan antara metode penyampaian dengan metode Gazal Hafez, Pour Javadi, Nasrullah, Darbaraye Hafez (artikel terpilih penerbit Danesh 1), Markaz Nashre Daneshgahi, cetakan ke-2, 1370, artikel “Uslub Hunari Hafez va Quran (Metode Seni Hafez dan al-Quran) yang ditulis oleh Bahauddin Khurramshahi, hal 3-20.

[2] . Lihat Thaha Husein, Ayineh Islam, terjemah Muhammad Ibrahim Ayati, cet ke-3, Nashre Resalat, Qom, hal 149-156.

[3] . Jalaluddin al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Tashih Abd al-Syafi, hal 126. Terkait dengan jawaban pertanyaan di atas dapat dirujuk ke buku, Tsalats Rasail fi I’jaz al-Quran, Hurramani, al-Khithabi dan Abdul Qahir al-Jurjani yang telah diteliti oleh Muhammad Khalf Allah dan Muhammad Zaghul Islam, Kairo, Dar al-Ma’arif.

(islamsyiah.wordpress.com)