Imam Syafi’I RA menganggap pernikahan dengan wanita yang telah dipinang orang lain sebagai pernikahan yang makruh. Sebab, pernikahannya sendiri sah, hanya prosesnya yang salah. Ada beberapa bentuk dan macam perkawinan yang dilarang dalam islam.

Menurut Imam Syafi’I RA ada beberapa perkawinan yang dilarang dan dianngap batal karena cacat rukunnya. Dalam kaitan perkawinan yang batal ini tak memiliki dampak kewajiban apa pun semacam mahar, nafakah, tidak menjadi muhrim dengan mertua dan lainnya, tak ada dampak nasab dan juga tak ada iddah. Artinya, pihak wanitanya langsung bisa kawin lagi dengan laki-laki lain.

Imam Syafi’I RA menyebut Sembilan pernikahan yang batal secara hukum, yaitu:

1. Pernikahan Syighar. Pernikahan Syighar itu semacam pernikahan barter. Seseorang menikahkan anak atau kerabatnya dengan maskawin mengawini anak atau kerabat pihak laki-laki. Dalam kaitan ini, keperawanan masing-masing menjadi maskawin. Larangan ini muncul berdasarkan hadis Muslim dari Ibnu Umar: “Tiada bentuk Syighar dalam islam”.

2. Nikah Mut’ah. Yaitu pernikahan yang diberi jangka batas waktu. Nikah mut’ah kerap pula disebut dengan nikah mu’aqqat (terkait waktu). Misalnya, menikah hanya sebulan atau dua bulan. Cacat pernikahan ini adalah mencantumkan batas waktu, sementara Islam mengajarkan pernikahan untuk selamanya dan membina keluarga.

3. Pernikahan yang dilakukan oleh orang yang tengah berihram, baik pihak suami maupun istri yang tengah melaksanakan ihram, baik ihram haji atau umrah. Tapi, dalam keadaan ihram boleh seseorang merujuk istrinya yang dicerai sekali atau dua kali, bukan talak tiga atau bain. Sebab, dalam fikih, merujuk (raj’ah) itu bukan memulai (ibtida’ al-aqdi) tapi meneruskan yang lampau (istidamah).

4. Pernikahan yang dilakukan oleh para wali untuk seorang wanita dengan beberapa laki-laki secara tidak disadari dan diketahui. Misalnya, terjadi pernikahan yang dilakukan oleh beberapa orang yang merasa wali seorang wanita dengan laki-laki yang berbeda, namun objek istri hanya satu, serta tidak dikatahui mana yang lebih dahulu dari perkawinan itu.

5. Menikahi wanita yang tengah dalam keadaan masa iddah (masa transisi) baik iddah karena suami meninggal atau cerai. Jika pernikahan ini telah mengakibatkan hubungan intim, maka keduanya dihukum sebagai hukuman zina.

6. Pernikahan dengan wanita yang diragukan kehamilannya sebelum habis masa iddahnya. Dalam kaitan ini harus ditunggu dulu statusnya, apakah benar-benar hamil atau tidak. Jika dalam keadaan ini dilaksanakan, maka batallah nikahnya.

7. Pernikahan seorang muslim dengan wanita kafir termasuk wanita murtad yang bukan dari kalangan (Yahudi dan kristiani). Menurut Dr. Wahbah Azzuhaily, kebolehan mengawini kitabiyah (yahudi dan nashrani/kristiani) jika si wanita memiliki keturunan yang sejak awal memang mengikuti agama itu, bukan pemeluk baru. Namun, majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya tahun 1983 melarang laki-laki muslim mngawini wanita kitabiyah karena pola budaya rumah tangga kita yang berbeda dengan tanah Arabia. Di sini, wanita sangat dominan terhadap rumah tangga sehingga jika pihak ibu bukan islam akan sangat besar mempengaruhi anak-anak menjadi bukan islam. Padahal tanggung jawab suami adalah menjaga keturunannya untuk tetap dalam satu iman dan agama.

8. Perkawinan dengan menikahi wanita yang suka berganti agama (muntaqilah min dinin ila akhara). Wanita seperti ini tidak boleh dinikahi sebelum masuk islam sepenuhnya.

9. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki kafir dan termasuk ahli kitab. Atau, jika salah satu pasangan ini atau keduanya murtad sebelum dukhul (malam pertama), maka batallah pernikahan mereka.

Di samping itu masih ada perbedaan pendapat antara haram dan makruh terkait dengan bentuk perkawinan. Imam Syafi’I RA hanya menganggap makruh pernikahan muhallil (laki-laki yang menjadi penyela pernikahan untuk wanita yang telah ditalak tiga kali/bain oleh suaminya) yang tidak diniatkan untuk membolehkan suami pertama mengawini kembali istrinya. Namun Imam Hanbali RA menilai pernikahan muhallil untuk tujuan member kesempatan pada suami pertama mengawini adalah haram. Bahkan, menurut Hanbali, pernikahan dengan suami pertamanya kemudian setelah perceraiannya dengan muhallil. Karena pernikahan ini bersifat mencicipi.

Rasulullah SAW bersabda “Allah melaknat laki-laki yang suka mencicipi (dzawwaqin) dan wanita yang suka dicicipi (dzawwaqat)”.

Demikian juga Imam Syafi’I RA menganggap pernikahan dengan wanita yang telah dipinang orang lain sebagai pernikahan yang makruh. Sebab, pernikahannya sendiri sah hanya prosedurnya yang salah. Kalangan ahli fikih mengkiyaskan hal ini dengan seseorang yang berwudlu dengan air curian atau tanpa izin pemiliknya (ghasab). Namun, mazhab lain menganggap pernikahan semacam ini batal. Menurut Imam Malik RA, pernikahan menjadi rusak (fasakh) sebelum dukhul dan langsung terjadi talak bain yang tak bisa dirujuk (ra’jah) kembali.