Negeri yang baik. Itulah harapan semua orang. Rasulullah saw. pernah mengumpamakan masyarakat sebagai para penumpang kapal yang tengah mengarungi samudera. Hanya dengan kondisi kapal yang prima dan nakhoda yang baik lah perjalanan dapat dinikmati oleh semua penumpangnya. Demikian pula halnya dengan negara. Negara yang baik (baldah thayyibah) akan menjelma bila orang yang memimpin sekaligus sistem aturannya memungkinkan terwujudnya kebaikan tersebut.
Pemimpin yang baik
Kepemimpinan atau jabatan apapun merupakan amanat. Jabatan bukanlah untuk mencapai kepentingan pribadi atau memperkaya diri dan keluarga. Jabatan bukan pula pekerjaan untuk mendatangkan keuntungan bagi pelakunya. Kepemimpinan apapun akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt. kelak.
Rasulllah saw. Bersabda, ”Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu itu lemah. Sesungguhnya jabatan itu merupakan suatu amanah (titipan). Jabatan itu nanti pada hari kiamat merupakan suatu kehinaan dan penyesalan kecuali bagi pejabat yang dapat memanfaatkan haknya dan menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya,” (THR. Muslim).
Bahkan, Nabi mengatakan, “Sesungguhnya kamu sekalian akan berambisi untuk dapat memegang suatu jabatan, tetapi nanti pada hari kiamat jabatan itu merupakan suatu penyesalan.” (THR. Bukhari)
Negara yang baik hanya dapat lahir dari pemimpin yang memiliki visi menjadi pelayan masyarakat yang dicintai dan mencintai dengan syariat Islam. Tegas sekali penjelasan dari Rasulullah Muhammad saw.: “Pemimpin-pemimpinmu yang terbaik adalah mereka yang kamu cintai dan mereka mencintaimu, kamu senantiasa memohonkan rahmat buat mereka dan mereka senantiasa memohonkan rahmat buat kamu. Pemimpin-pemimpinmu yang terjahat adalah mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, kamu mengutuk mereka dan mereka mengutukmu.” (THR. Muslim).
Sebaliknya, pemimpin yang menipu rakyat, bermuka dua, atau menjadi antek asing tidak dapat diharap mendatangkan kebaikan. Karenanya, wajar Allah mengharamkan baginya sorga. “Tidak akan seorang pemimpin kaum muslimin mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali diharamkan baginya masuk surga,” begitu hadits Nabi riwayat Imam Bukhari dan Muslim.
Baldah thayyibah akan terwujud bila pemimpinnya mendudukkan diri untuk melayani umat dengan sepenuh hati, melindungi masyarakat dengan sekuat tenaga, memenuhi kebutuhan pokok individual dan memberi peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tertier, merealisasikan tujuan luhur syariah dengan menerapkan syariat Islam.
Sistem yang baik
Nabi Muhammad jauh sebelum diangkat sebagai Nabi sudah dikenal sebagai orang yang mulia, jujur, dan amanah. Semua karakter baik manusia ada pada diri beliau. Beliau digelari al-amin oleh penduduk Mekkah. Namun, Allah swt. tidak mencukupkan pada karakter pemimpin semata. Beliau menurunkan wahyu kepadanya berupa al-Quran dan as-Sunnah sebagai petunjuk bagi manusia. Dengan aturan dari Allah itulah beliau mengatur, mengurusi dan menghukumi manusia. Realitas ini saja memberikan ketegasan bahwa negeri yang baik tidak cukup mewujud dengan pemimpin yang akhlaknya baik. Diperlukan sistem dan aturan yang baik. Apakah sistem dan aturan yang baik itu? Tentu, sistem dan aturan yang lahir dari DZat yang Maha Baik. Itulah syariat Islam yang dijalankan dalam sistem kekhilafahan. Ketika kerusakan terjadi, manusia disuruh kembali kepada aturan dan hukum-Nya. Bukankah Dia Zat Maha Perkasa menyatakan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, jalan Allah).” (TQS. Ar Rum: 41)
Dalam konteks Indonesia, misalnya, terjadinya kemiskinan, banyaknya pengangguran, maraknya pornografi dan pornoaksi, meluasnya kebejatan moral (pelecehan seksual, perzinaan, pelacuran), merebaknya kejahatan (perampokan, pembunuhan, perjudian) dll., semua itu telah membuat hidup kita terasa sempit dan menyesakkan dada. Semua itu tidak lain adalah buah yang harus kita petik akibat kita berpaling dari syariat Allah dan kita lebih rela diatur dengan aturan-aturan sekular buatan manusia.
Padahal, melalui penerapan syariah, baldah thayyibah akan tegak. Saat Islam diterapkan dalam negara, maka: Pertama, keturunan terpelihara (al-muhfazhah ‘alâ al-nasl). Betapa tidak, Islam mensyariatkan nikah dan mengharamkan perzinaan, menetapkan berbagai sanksi hukum terhadap para pelaku perzinaan itu, melarang kebebasan berhubungan seksual (freesex), homoseks, lesbianisme, dan sebagainya. Ketika pornografi pornoaksi dipelihara, pelacuran difasilitasi, selingkuh dianggap biasa, sementara poligami dilarang maka kerusakan keturunan tinggal menunggu waktu.
Kedua, akal terjaga (al-muhâfazhah ‘alâ al-aqlu). Syariat Islam mencegah dan melarang dengan tegas segala perkara yang merusak akal seperti minuman keras (muskir) dan narkoba (muftir), menetapkan sanksi hukum terhadap para pelakunya, mendorong manusia untuk menuntut ilmu (bahkan pendidikan gratis), dll. Saat ini negeri yang baik tak kunjung tiba karena minuman keras hanya dilarang di pedagang kaki lima, pengedar narkoba berkeliaran, pendidikan malahan dikapitalisasi.
Ketiga, kehormatan terpelihara (al-muhâfazhah ‘alâ al-karâmah). Pemimpin yang menerapkan syariat memberikan kebebasan untuk apapun selama sesuai dengan syariat Islam, melarang orang menuduh zina, mengolok, menggibah, melakukan tindakan mata-mata, pengeksploitasi kehormatan perempuan berupa pornografi atau pornoaksi, menetapkan sanksi-saksi hukum bagi para pelakunya. Tidak ada peluang bagi media untuk mengeksploitasi infortainment ghibah hanya demi kepentingan bisnisnya.
Keempat, jiwa manusia terpelihara (al-muhâfazhah ‘alâ an-nafs). Dengan syariat Islam setiap warga masyarakat apapun suku, ras dan agamanya dipelihara dan dijamin keselamatan jiwanya. Bahkan, bila sekarang pembunuh hanya diganjar beberapa tahun saja, Islam mensyariatkan hukum qishash.
Kelima, harta terpelihara (al-muhâfazhah ‘alâ al-mâl). Bukan hanya harta pribadi yang akan terpelihara dari pencurian. Harta rakyat pun akan terjaga korupsi, privatisasi, diserahkan kepada asing, dll. Semua itu diharamkan oleh syariat Islam.
Keenam, memelihara agama (al-muhâfazhah ‘alâ ad-dîn). Penerapan syariat mendorong dan menfasilitasi dakwah Islam, melarang dan mencegah murtad, menghentikan kristenisasi atau westernisasi dalam keyakinan. Juga, tidak memaksa nonmuslim untuk masuk Islam. Semua agama akan dapat melaksanakan ibadahnya dengan tentram. Beda dengan saat ini, orang-orang yang berusaha menerapkan Islam malahan dicurigai.
Ketujuh, keamanan terpelihara (al-muhâfazhah ‘alâ al-amnu). Penguasa menggunakan segala kemampuan untuk menciptakan keamanan di dalam negeri, mencegah intervensi luar negeri, tidak menakut-nakuti rakyat, dll.
Kedelapan, negara terpelihara (al-muhâfazhah ‘alâ ad-dawlah). Penguasa dalam Islam menjaga kesatuan negara, melarang orang atau kelompok orang melakukan pemberontakan (bughat) dengan mengangkat senjata, mencegah adanya separatisme, melarang LSM komprador yang menjadi agen asing imperialis, dan mendorong negeri-negeri Muslim bersatu.
Inilah negeri yang baik. Negeri yang diidam-idamkan. Baldah thayyibah pernah menjelma dalam khilafah. Mari kita jujur pada sejarah. Kalau kita membaca buku-buku sejarah di seputar syariah dan Khilafah Islam yang ditulis oleh para sejarahwan yang jujur, kita akan segera menangkap sebuah kesimpulan, bahwa Khilafah Islam, dengan seluruh aspek syariah yang diterapkannya, telah mampu menciptakan kesuksesan dalam berbagai bidang. Banyak ilmuwan sejarah yang jujur, bahkan dari kaum non-Muslim sekalipun, yang mengakui kehebatan dan keagungan Khilafah dan syariahnya dalam menciptakan peradaban manusia yang penuh dengan kegemilangan. Will Durant, misalnya, menyatakan, “Sepanjang masa Kekhilafahan Islam para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya; menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya; memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka; menjadikan pendidikan menyebar luas hingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa yang membuat Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durant The Story of Civilization).
Sementara itu, ketika membincangkan Kekhilafahan Islam yang terakhir, yakni Kekhilafahan Utsmani, Paul Kennedy, dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, menulis, “Empirium Utsmani adalah lebih dari sekadar mesin militer; dia telah menjadi penakluk elit yang telah mampu membentuk satu kesatuan iman, budaya dan bahasa pada sebuah area yang lebih luas dibandingkan dengan yang pernah dimiliki oleh Empirum Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar. Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, Dunia Islam telah jauh melampui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya demikian luas, rakyatnya terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki universitas-universitas dan perpustakaan yang lengkap dan memiliki masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan dan aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum Muslim selalu berada di depan.”
Oleh : MR Kurnia
Sumber : Tabloid Suara Islam