1. Perbedaan Dalam Menentukan Peran Hisab dan Rukyat.

Merujuk kepada dalil tentang rukyat, sebagaimana telah dikemukakan, para ahli fikih berbeda pendapat mengenai kedudukan serta peran hisab dan rukyat dalam penentuan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadhan dan Syawal.

Sebagian fuqaha‟ berpendapat bahwa penentuan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadhan dan Syawal, adalah berdasarkan rukyat hilal. Pendapat ini berdasarkan metode mengqiyaskan hukum bulan selain bulan Ramadhan dan Syawal dengan kedua bulan tersebut yang berdasarkan hadis Nabi tentang rukyat, dan adat kebiasaan masyarakat Arab. Fuqaha‟ lainnya berpendapat bahwa penentuan awal bulan selain Ramadhan dan Syawal adalah berdasarkan hisab „urfi atau hisab haqiqi, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Quran.

Pendapat-pendapat tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kelompok pertama adalah mereka yang memberikan kedudukan serta peran utama bagi rukyat dengan “mata telanjang”, dan mengkesampingkan sama sekali peran hisab. Termasuk kelompok ini adalah fuqaha‟ Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah, dan pengikut Ibnu Hajar dari kalangan Syafi‟iyah. Menurut kelompok ini, rukyat dapat diterima meskipun bertentangan dengan perhitungan hisab, sekalipun cuaca mendung. Hisab sama sekali tidak dapat dijadikan pedoman bagi orang awam, kecuali hanya bagi ahli hisab saja. Menurut mereka, puasa berdasarkan hisab adalah tidak sah. Kaum Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa rukyat berlaku untuk seluruh dunia. Sedangkan menurut pengikut Ibnu Hajar, rukyat hanya berlaku untuk wilayah seluas satu mathla‟ (80 km atau sejauh delapan derajat busur, atau delapan menit perbedaan waktu).
2. Kelompok kedua memberikan kedudukan serta peran utama kepada rukyat dan peran hisab adalah sebagai pelengkap. Termasuk kelompok ini adalah pengikut Imam al-Ramli dari golongan Syafi‟iyah. Menurut kelompok ini, ketetapan ilmu hisab berlaku bagi ahli hisab dan orang-orang yang membenarkannya. Mereka berpendapat bahwa hisab hanya sebagai alat pembantu, sedangkan rukyat adalah sebagai penentu.
3. Kelompok ketiga memberikan kedudukan serta peran utama kepada hisab, dan peran rukyat adalah sebagai pelengkap. Menurut kelompok ini, rukyat dapat diterima bila tidak bertentangan dengan hisab. Apabila ahli hisab berkesimpulan bahwa hilal mungkin dapat dilihat jika tidak terhalang mendung atau partikel lainnya, maka hari berikutnya merupakan awal Ramadhan atau Syawal.
4. Kelompok keempat adalah kelompok yang memberikan kedudukan serta peran utama kepada hisab, mengkesampingkan sama sekali kedudukan serta peran rukyat dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal. Sebagian kelompok ini berpendapat bahwa dasar penentuan awal Ramadhan adalah wujudnya hilal, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan kedua bulan tersebut adalah imkanur rukyah dengan kriteria umur bulan 14 jam, lama hilal dapat dilihat 42 menit, tinggi hilal 05 derajat dengan sudut sinar 08 derajat, tinggi hilal 02 derajat dengan umur 08 jam.

Di dalam praktek, hisab tidak dapat dikesampingkan sama sekali, sebab untuk rukyat tersebut dibutuhkan pedoman, dan penentuan umur bulan sebanyak 29 hari tidak dapat dilakukan kecuali dengan hisab. Perbedaan pendapat tersebut, nampaknya, hanya sebatas teori saja sebab praktek masyarakat Islam dan pemerintah pada umumnya menentukan awal bulan berdasarkan hisab, sebab penentuan awal bulan berdasarkan rukyat saja adalah tidak praktis, dan perbedaan- perbedaan penentuan awal Ramadhan dan Syawal di Indonesia disebabkan oleh perbedaan penggunaan sistem hisab tersebut.

Ahli fikih dari kalangan Syafi‟iyah sepakat bahwa rukyat hanya berlaku bagi orang yang mengalaminya saja, tidak mengikat kepada orang lain. Atau, dengan kata lain, jika ada seseorang atau beberapa orang berhasil melakukan rukyat untuk menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal, maka hanya merekalah yang wajib berpuasa. Menurut golongan ini, rukyat baru mengikat kepada orang lain jika rukyat tersebut telah mendapat pengakuan dan ketetapan dari pemerintah atau qadhi.

Sejalan dengan perkembangan intelektual masyarakat, pada awalnya dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal kebanyakan masyarakat terikat oleh penetapan pemerintah yang berkuasa, meskipun dasar penetapan tersebut bertentangan dengan pendapat ulama atau mazhab yang dianutnya. Orang yang telah yakin bahwa bulan Syawal telah mulai, yang berarti haram hukumnya berpuasa pada hari itu, mereka cenderung harus berbuka secara sembunyi- sembunyi agar tidak terang-terangan menentang keputusan pemerintah. Akan tetapi pada masa sekarang, perbedaan dalam praktek penentuan awal Ramadhan ataupun Syawal dan pelaksanaan ibadah yang berkaitan dengan kedua bulan ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi, meskipun ada penetapan pemerintah tentang hal itu

2. Sebab-sebab terjadinya perbedaan.

Terjadinya perbedaan dalam penentuan peran hisab dan rukyat untuk menentukan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadhan dan Syawal adalah disebabkan Al-Quran tidak memberikan petunjuk penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal tersebut secara detail. Ditambah lagi dengan kenyalnya teks Hadis tentang masalah tersebut sehingga dapat ditafsirkan lebih dari satu, bahkan lebih dari sepuluh arti. Disamping itu juga karena adanya perbedaan tentang apakah penentuan awal kedua bulan tersebut termasuk bidang ta‟abbudi ataukah ta‟aqquli. Elastisitas Hadis tentang rukyat dapat dilihat, antara lain, melalui penjelasan al-Qalyubi bahwa Hadis Rasulullah yang menyebutkan:

فصوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته وإن غم عليكم فأكملوا

sebagaimana telah dikemukakan, mengandung beberapa pengertian, antara lain:

a. Bila seseorang berhasil melihat hilal maka hanya dia sendiri yang wajib berpuasa.

b. Rukyah berarti melihat dengan anggota badan, yaitu mata.

c. Rukyah boleh dilakukan oleh seseorang yang terpercaya („adil) dan dikabarkan kepada orang lain secara mutawatir oleh orang yang terpercaya pula.

d. Bila seseorang berhasil melakukan rukyah meskipun bulan tertutup awan (dengan bantuan alat modern -pen) ia dituntut untuk berpuasa.

e. Bila wujud bulan memungkinkan untuk dirukyah, wajib berpuasa.

f. Apabila seseorang berhasil melihat hilal, kewajiban puasa tidak dikhususkan untuk dirinya saja.

Keterangan diatas menjelaskan bahwa teks Hadis yang dikemukakan potensial sekali menimbulkan berbagai pendapat mengenai awal Ramadhan dan Syawal.

Masalah lain yang menonjol dalam memahami Hadis tersebut adalah apakah penentuan awal Ramadhan dan Syawal itu termasuk ta‟abbudi ataukah ta‟aqquli. Jika masalah rukyah dianggap ta‟abbudi, maka penentuan awal Ramadhan dan Syawal hanya dapat dilakukan berdasarkan rukyat dengan mata, tanpa menggunakan alat, sesuai dengan lahir Hadis dan praktek Nabi Saw. Hal ini sama artinya dengan menganggap ayat al-Quran dan Hadits yang menyebutkan dasar hukum rukyat tersebut sebagai sesuatu yang qath‟iy dan tidak boleh diinterpretasikan dengan cara lain. Tetapi jika permasalahan tersebut dianggap ta‟aqquli, maka kata-kata “rukyah” dalam ayat maupun Hadis yang telah disebutkan berarti mengandung dugaan kuat (zhann) untuk kemungkinan hilal wujud, dan berarti sudah dapat

dirukyat. Oleh karena itu, penentuan awal Ramadhan dapat dilakukan berdasarkan informasi seseorang yang „adil bahwa ia telah melihat hilal dengan matanya sendiri, atau berdasarkan perhitungan ahli astronomi bahwa hilal sudah wujud dan mungkin dapat dilihat, dan pada waktu itu umat Islam sudah punya kewajiban melaksanakan ibadah puasa.

E. PENUTUP

Metode penentuan awal bulan qamariyah dengan menggunakan sistem hisab dan rukyat, pada kenyataannya, terdapatperbedaan di kalangan masyarakat. Lebih khusus lagi, perbedaan ini mengakibatkan berbeda pula dalam menetapkan tanggal satu Ramadhan dan Syawal, yang berkaitan erat dengan waktu pelaksanaan ibadah puasa bagi umat Islam.

Pendapat yang radikal meletakkan peranan mutlak bagi sistem rukyat untuk menentukan awal bulan tersebut tanpa memberi peluang bagi sistem hisab, atau memberikan peran hanya kepada sistem hisab saja dengan mengabaikan rukyat. Pendapat yang lebih lunak meletakkan peran dalam porsi lebih besar kepada rukyat dan mempergunakan hisab sebagai pelengkap, atau sebaliknya.

Dalam praktek, masyarakat Islam dan pemerintah pada umumnya, tidak hanya di Indonesia, menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan menggunakan sistem hisab tanpa mengabaikan rukyat untuk penyempurnaan. Sedangkan untuk bulan-bulan selain Ramadhan dan Syawal, peran rukyat hampir tidak ada, ia hanya merupakan teori sebagian ulama saja.

Di Indonesia, Nahdhatul Ulama menetapkan bahwa penentuan awal bulan qamariyah selain Ramadhan dan Syawal adalah berdasarkan rukyat, berpedoman kepada kitab Bughyah al- Musytarsyidin. Akan tetapi, ketetapan itu hanya diatas kertas saja, karena sebagian besar ulama dan umat Islam berpedoman kepada kalender Hijriyah yang ditetapkan dan disusun berdasarkan ilmu hisab, baik hisab haqiqi maupun hisab urfi.
tq for share
>>>http://naifu.wordpress.com