Beberapa puluh tahun yang lalu, warga desa Thahuriya sudah amat terbiasa menyaksikan seorang anak kecil berjalan melalui jalan desa dengan gamis putihnya menuju masjid. Anak ini dikenal selalu menjaga shalat jama’ahnya dan selalu tiba di masjid sebelum adzan berkumandang. Sehingga setiap anak kecil ini menyusuri jalan, warga kampung kecil yang berada di propinsi Al Qalyubiyah itu sudah memahami, bahwa waktu shalat menjelang tiba.
Anak kecil bergamis putih itu tidak lain adalah Muhammad Muhammad As Sayyid Husnain Jibril. Kini anak yang sudah menghafal al-Qur`an 30 juz itu lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Muhammad Jibril, seorang qari` yang dikenal memiliki suara merdu yang banyak dirindukan umat Islam di berbagai tempat. Laki-laki yang telah menyelesaikan lisence di Fakultas Syari’ah wa Al Qanun Al Azhar ini telah menjadi imam tetap di Masjid Amru bin Ash sejak tahun 1988. “Allah telah memulyakan saya dengan shalat dan menjadi Imam di Masjid Al Jami’ ‘Amru bin Ash, yang telah dibangun oleh lebih dari 80 shahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (SAW).”
Kemerduan suaranya tatkala melantunkan ayat-ayat suci al-Qur`an menjadi daya tarik tersendiri bagi warga Mesir. Khususnya ketika beliau menjadi Imam Masjid Amru bin Ash, warga berduyun-duyun untuk mengikuti shalat tarawih. Tak jarang, warga dari luar kota Kairo ikut berbondong-bondong. Untuk mendapat shaf-shaf depan, mereka sudah datang sejak jam 2 siang.
Terawih dengan Syeikh Jibril di Masjid yang dibangun Amru bin Ash ini memiliki nuansa tersendiri. Qunut di shalat witirnya memakan waktu hampir satu jam! Di kesempatan itu, Syeikh Jibril berdoa untuk semua permasalahan umat Islam. Jodoh, ekonomi, hingga pertolongan Allah agar umat Islam Palestina segera terbebas dari cengkraman Zionis tak luput dari munajatnya. Tak jarang para jama’ah menangis sedu-sedan di waktu qunut berlangsung. “Baik menangis atau dibuat-buat supaya bisa menangis boleh, sebagaimana sabda Rasulullah (SAW).“ Ucap beliau, ketika ditanya tentang mereka yang manangis dengan dibuat-buat ketika shalat.
Di masa mudanya, sebelum selesai tingkat Aliyah (SMU), ia sudah pindah ke Yordan dan menjadi Imam di salah satu masjid di negara itu, serta menjadi pengajar materi al-Qur`an di Universitas Al Urduniyah. Walau sudah menjadi pengajar, belajar sendiri tidak dilupakan. Ia melanjutkan kuliyah ke Fakultas Syari’ah wa Al Qanun di Universitas Al Azhar Mesir. Karena itu, ia harus sering bolak-balik Yordan-Mesir, untuk melancarkan studinya.
Di Yordan inilah Syeikh Muhamamd Jibril mulai populer, rekaman bacaan al-Qur`an beliau mulai menyebar. Sedangkan di Mesir sendiri, namanya saat itu hampir tidak terdengar. Baru, setelah beliau “menyabet” juara lomba menghafal al-Qur`an tingkat internasional di Malaysia tahun 1981 dan di Saudi tahun 1986, Muhammad Jibril mulai populer di negerinya sendiri. “Ini yang membuat saya merasa, bahwa sudah saatnya saya menetap di Mesir.” Ungkapnya.
Dengan berbekal sejumlah uang yang ia peroleh dari hadiah lomba, ketika ia genap berumur 25 tahun, laki-laki pendiri Madrasah Ubai bin Ka’ab ini membangun rumah dan mulai menjadi imam di beberapa masjid di Mesir. Setiap kali menjadi imam, jumlah jama’ah shalat meluber. Hingga akhirnya ia ditetapkan menjadi imam di Masjid Jami’ Amru bin Ash.
Khusus di bulan Ramadhan, jumlah jama’ah di masjid Amru bin Ash bisa mencapai 500 ribu jama’ah. Shaf shalat meluber hingga terowongan Malik As Shalih, yang berjarak beberapa ratus meter dari Masjid. Kontribusi Syeikh Jibril terhadap masjid Bersejarah ini diakui oleh Dr. Abdu As Shabur Sahin, salah satu ulama Mesir,”Saya mengharap agar ia tidak meninggalkan Masjid Amru. Dia telah menghidupkan Masjid Amru, setelah sebelumnya ‘tak berpenghuni’.”
Menjadi imam shalat ratusan ribu jama’ah ternyata tidak membuat Syeikh Jibril, bangga atau pun grogi. “Ketika menjadi imam, saya merasa seakan-akan hanya ada satu makmum yang shalat di belakang saya, dan saya sudah lupa dengan semua makmun. Saya merasa sedang berada di alam yang berbeda, bersama setiap lafadz yang saya ucapkan dari kalamullah.”Terangnya.
Sejak kecil, Syeikh Jibril memang bercita-cita sebagai ahlu al-Qur`an, dan meraih tingkatan tertinggi dalam bidang ini. Menurutnya, sejak awal beliau memang mencintai spesialisasi. Sehingga, ketika diangkat menjadi imam Masjid Amru bin Ash, dan diundang untuk menjadi imam shalat di berbagai negara, beliau tidak merasa heran. Akan tetapi menurutnya, tawadhu’ harus tetap dijaga. Bahkan, walau sudah ribuan kali menjadi imam shalat di berbagai tempat, beliau merasa seakan-akan baru pertama kali menjadi imam.
Tepatnya pada bulan Maret 2004, laki-laki yang juga kerap menjadi Imam tarawih di Malaysia ini mulai mengaktifkan lembaga pendidikan al-Qur`an, yang dinamai dengan Dar Ubai bin Ka’ab yang terletak di wilayah Sayidah Zainab Kairo. Dengan masa pendidikan 6 tahun, ia mentarget 5 juz al-Qur`an bisa dihafal tiap tahunnya, sehingga begitu lulus, para pelajar sudah menghafal 30 juz.
Ubai bin Ka’ab adalah sahabat nabi penghafal dan penulis wahyu, dan seorang sahabat yang disaksikan oleh Rasulullah (SAW) bahwa beliau adalah seorang alim. Oleh karena itulah, Syeikh Jibril terilhami untuk mengabadikan nama sahabat mulia itu menjadi nama madrasahnya. Disamping itu ia juga mendirikan “kuliyah terbuka” yang tidak terikat umur, yang juga mempelajari tajwid dan bacaan al-Qur`an.
Di luar masjid, aktivitas Syeikh Jibril tidak berbeda dengan rakyat biasa pada umumnya. Beliau adalah seorang yang juga rajin berolah raga. Tak jarang ketika ditemui beliau kedapatan sedang mengenakan baju trinning. Bermain sepak bola dan berenang adalah cabang olah raga yang beliau gemari. Bukan untuk hiburan atau bersenang-senang semata. Menurutnya, olah raga bisa membantu mengatur pernafasan. Karena nafas yang teratur dengan baik sangat diperlukan bagi seorang qari’. Itu dilakukan juga untuk menjaga kekuatan jasmani, karena menjadi imam, apalagi shalat tarawih, perlu memiliki ketahanan fisik yang baik.
Untuk mengisi hari-hari, Syekh Jibril bermain akrab dengan Amru juga memperdengarkan ayat-ayat al-Qur`an untuk putra beliau itu. “Wajib bagi kita untuk memperhatikan anak-anak balita, karena mereka memiliki fitrah untuk mencintai al-Qur`an, hingga mereka senang jika kita bacakan.” Ucap beliau.
Keluarga al-Qur`an
Bagi Syeikh Jibril, untuk menjadi penghafal dan qari` al-Qur`an ternyata tidak cukup hanya mengandalkan jerih payah yang bersangkutan, peran lingkungan dalam kelurga juga menentukan. Keluarga Muhammad Jibril sendiri adalah “keluarga al-Qur`an.” Ayah beliau sendiri adalah seorang hafidz yang cukup dikenal di propinsi Qalyubiyah. Kakak laki-lakinya Syeikh Sayyid Muhammad Jibril juga saorang hafidz, mengajar di pesantren milik Al Azhar di wilayah Ma’adi. Begitu pula saudaranya yang bernama Nashr, serta bebarapa saudara perempuannya juga hafal 30 juz.
Pada umur 5 tahun, ayahnya menyerahkannya kepada Syeikh Amir Utsman, pangajar al-Qur`an di desanya. Dan Syeikh Jibril memiliki kesan tersendiri terhadap guru beliau yang telah wafat di Makkah ini. Menurutnya, pertemuannya dengan Syeikh Amir adalah sebuah kenikmatan dari Allah. “Dari Syeikh Amir saya mengambil bacaan al-Qur`an yang “bersih” dan tepat. Laki-laki ini adalah salah satu fadhilah untuk saya”
Cara menghafal al-Qur`an
Ketika ditanya, bagaimana cara menghafal, hingga bisa menghasilkan hafalan yang kuat dan benar? Beliau menjawab, “Musyafahah (dengan mendengarkan dan menirukan) adalah cara pengajaran yang saya tempuh, setelah itu mempelajari hukum bacaan.”
Tidak hanya itu, keadaan hati yang bersih juga turut berperan,”Saya mengetahui bahwa keberhasilan adalah buah dari ikhlas, maka saya berusaha untuk selalu dalam keadaan ikhlas dan terus menerus mengulangi hafalan”.
Mengenai metode pengulangan hafalan Syeikh Jibril menjelaskan,”Saya dulu mengulangi sebelum dan sesudah shalat shubuh, dengan mengetahui tanda wuquf (berhenti), dan bagaimana mengucapkan lafadz yang benar, dan saya membaca yang akan saya hafal besok dan saya terus melakukannya”.
Syeikh Jibril memandang bahwa mengulangi hafalan setiap hari adalah hal yang amat penting bagi seorang hafidz. “Barang siapa meninggalkan al-Qur`an dalam sehari, maka al-Qur’an akan meninggalkannya dalam sepekan, barang siapa meninggalkan al-Qur’an sepekan, al-Qur’an akan meninggalkannya sebulan, dan barang siapa meninggalkan al-Qur’an sebulan, maka al-Qur`an meninggalkannya setahun dan barang siapa meninggalkan al-Qur`an setahun maka yang bersangkutan akan lupa, artinya kita harus memulai hafalan dari awal lagi.” Syeikh Jibril berpesan.
Oleh karena itu, walau sudah menjadi qari’ besar dan ribuan kali mengulang hafalan dengan menjadi imam shalat, hingga kini Syeikh Muhammad Jibril masih tetap mengulangi hafalan beliau, yakni, 5 juz dalam sehari. Hal ini juga merupakan washiyat dari guru beliau, Syeikh Amir Utsman.

>>>http://dunia.pelajar-islam.or.id