Category: Jalan Keberhasilan


 
Al-Imam Al-’Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullahu menyebutkan secara panjang lebar dampak negatif dari dosa. 15 di antaranya bisa kita sebutkan di sini sebagai peringatan:

  • (1). Terhalang dari ilmu yang haq (benar / lurus). Karena ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, sementara maksiat akan memadamkan cahaya.

Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu belajar kepada Al-Imam Malik Rahimahullahu, Al-Imam Malik terkagum-kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i.

Al-Imam Malik pun berpesan pada muridnya ini,

“Aku memandang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memasukkan cahaya ilmu di hatimu. Maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”

  • (2). Terhalang dari beroleh rezeki dan urusannya dipersulit.

Takwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mendatangkan rezeki dan memudahkan urusan seorang hamba

Sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya);

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar (dari permasalahannya) dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”

(QS. Ath-Thalaaq [65]  : 2-3).

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

(QS. Ath-Thalaq [65] : 4).

Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.

  • (3). Hati terasa jauh dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan merasa asing dengan-Nya, sebagaimana jauhnya pelaku maksiat dari orang-orang baik dan dekatnya dia dengan setan.
  • (4). Menggelapkan hati si hamba sebagaimana gelapnya malam. Karena ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam hati, akan bertambah pula kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara yang membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta yang keluar sendirian di malam yang gelap dengan berjalan kaki.

Bila kegelapan itu semakin pekat akan tampaklah tandanya di mata si hamba. Terus demikian, hingga tampak di wajahnya yang menghitam yang terlihat oleh semua orang.

  • (5). Maksiat akan melemahkan hati dan tubuh, karena kekuatan seorang mukmin itu bersumber dari hatinya. Semakin kuat hatinya semakin kuat tubuhnya. Adapun orang fajir/pendosa, sekalipun badannya tampak kuat, namun sebenarnya ia selemah-lemah manusia.
  • (6). Maksiat akan ‘memperpendek‘ umur dan menghilangkan keberkahannya, sementara perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya.

Mengapa demikian?

Karena kehidupan yang hakiki dari seorang hamba diperoleh bila hatinya hidup. Sementara, orang yang hatinya mati walaupun masih berjalan di muka bumi, hakikatnya ia telah mati.

Oleh karenanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan orang kafir adalah mayat dalam keadaan mereka masih berkeliaran di muka bumi:

“Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak hidup.”

(QS. An-Nahl [16] : 21).

Dengan demikian, kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia adalah hitungan kehidupannya. Berarti, umurnya tidak lain adalah waktu-waktu kehidupannya yang dijalani karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, menghadap kepada-Nya, mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Di luar itu, tidaklah terhitung sebagai umurnya.

Bila seorang hamba berpaling dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan maksiat, berarti hilanglah hari-hari kehidupannya yang hakiki. Di mana suatu hari nanti akan jadi penyesalan baginya:

“Aduhai kiranya dahulu aku mengerjakan amal shalih untuk hidupku ini.”

(QS. Al-Fajr [89] : 24).

  • (7). Satu maksiat akan mengundang maksiat lainnya, sehingga terasa berat bagi si hamba untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf:

“Termasuk hukuman perbuatan jelek adalah pelakunya akan jatuh ke dalam kejelekan yang lain. Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain.

Seorang hamba bila berbuat satu kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata, ‘Lakukan pula aku.’

Bila si hamba melakukan kebaikan yang kedua tersebut, maka kebaikan ketiga akan berucap yang sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi berlipatgandalah keuntungannya, kian bertambahlah kebaikannya. Demikian pula kejelekan….”

  • (8). Maksiat akan melemahkan hati dan secara perlahan akan melemahkan keinginan seorang hamba untuk bertaubat dari maksiat, hingga pada akhirnya keinginan taubat tersebut hilang sama sekali.
  • (9). Orang yang sering berbuat dosa dan maksiat, hatinya tidak lagi (tidak sensitif/peka) merasakan jeleknya perbuatan dosa. Malah berbuat dosa telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia dan acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga dengan maksiat yang dilakukannya.

Bila sudah seperti ini model seorang hamba, ia tidak akan dimaafkan, sebagaimana Sabda dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa sallam:

“Setiap umatku akan dimaafkan kesalahan/dosanya kecuali orang-orang yang berbuat dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek yang dilakukannya tersebut[2] namun di pagi harinya ia berkata pada orang lain, “Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal ia telah bermalam dalam keadaan Rabbnya menutupi kejelekan yang diperbuatnya. Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri tutupan (tabir) Allah yang menutupi dirinya.”

(HR. Al-Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 7410).

  • (10). Setiap maksiat yang dilakukan di muka bumi ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

-Perbuatan HOMOSEKSUAL adalah warisan kaum Luth.

– Mengambil hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan menguranginya, adalah warisan kaum Syu’aib.

– Berlaku sombong di muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Sombong dan tinggi hati adalah warisan kaum Hud.

  • (11). Maksiat merupakan sebab dihinakannya seorang hamba oleh Rabbnya.

Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan seorang hamba maka tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.

“Siapa yang dihinakan Allah niscaya tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.”

(QS. Al-Hajj [22] : 18).

Walaupun mungkin secara zhahir manusia menghormatinya karena kebutuhan mereka terhadapnya atau mereka takut dari kejelekannya, namun di hati manusia ia dianggap sebagai sesuatu yang paling rendah dan hina.

  • (12). Bila seorang hamba terus menerus berbuat dosa, pada akhirnya ia akan meremehkan dosa tersebut dan menganggapnya kecil. Ini merupakan tanda kebinasaan seorang hamba. Karena bila suatu dosa dianggap kecil maka akan semakin besar di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullahu dalam Shahih-nya (no. 6308) menyebutkan ucapan sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu:

“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”

  • (13). Maksiat akan merusak akal. Karena akal memiliki cahaya, sementara maksiat pasti akan memadamkan cahaya akal. Bila cahayanya telah padam, akal menjadi lemah dan kurang.

Sebagian salaf berkata:

“Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hilang akalnya.”

Hal ini jelas sekali, karena orang yang hadir akalnya tentunya akan menghalangi dirinya dari berbuat maksiat. Ia sadar sedang berada dalam pengawasan-Nya, di bawah kekuasaan-Nya, ia berada di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala, di bawah langit-Nya dan para malaikat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyaksikan perbuatannya.

  • (14). Bila dosa telah menumpuk, hatipun akan tertutup dan mati, hingga ia termasuk orang-orang yang lalai. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya);

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.”

(QS. Al-Muthaffifin [83] : 14).

Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas: “Itu adalah dosa di atas dosa (bertumpuk-tumpuk) hingga mati hatinya.”[3]

  • (15). Bila si pelaku dosa enggan untuk bertaubat dari dosanya, ia akan terhalang dari mendapatkan doa para malaikat. Karena malaikat hanya mendoakan orang-orang yang beriman, yang suka bertaubat, yang selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya);

“Malaikat-malaikat yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman, seraya berucap, ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shalih di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semuanya. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha memiliki hikmah. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan pada hari itu maka sungguh telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar’.”

{QS. Ghafir (Al-Mu’min [40] ): 7-9}.

Demikian beberapa pengaruh negatif dari perbuatan dosa dan maksiat yang kami ringkaskan dari kitab Ad-Da`u wad Dawa`, karya Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahu hal. 85-99.

Semoga dapat menjadi peringatan. Setiap hari kita tenggelam dalam kenikmatan yang dilimpahkan oleh Ar-Rahman. Nikmat kesehatan, keamanan, ketenangan, rezeki berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Belum lagi nikmat iman bagi ahlul iman. Sungguh, dalam setiap tarikan nafas, ada nikmat yang tak terhingga. Namun sangat disesali, hanya sedikit dari para hamba yang mau bersyukur:

“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.”

(QS. Saba’ [34] : 13).

Kebanyakan dari mereka mengkufuri nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Atau malah mempergunakan nikmat tersebut untuk bermaksiat dan berbuat dosa kepada Ar-Rahman. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kepada mereka banyak kebaikan namun mereka membalasnya dengan kejelekan.

Demikianlah keadaan manusia, setiap harinya selalu berbuat dosa. Kita pun tak luput dari berbuat dosa, baik karena tergelincir ataupun sengaja memperturutkan hawa nafsu dan bisikan setan yang selalu menggoda. Amat buruklah keadaan kita bila tidak segera bertaubat dari dosa-dosa yang ada dan menutupinya dengan berbuat kebaikan. Karena perbuatan dosa itu memiliki pengaruh yang sangat jelek bagi hati dan tubuh seseorang, di dunianya ini maupun di akhiratnya kelak.

Wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.

Jika kita diminta berdakwah ke tengah masyarakat yang memiliki karakter buruk, angkuh,“songong”, “ndablek” hatinya sudah tertutup dengan kesombongan dan kemusyrikan yang sudah berkarat. Apa yang kita lakukan? Sanggupkah kita menerima amanah dakwah itu? Atau mungkin seribu alasan kita kumpulkan agar tugas itu tidak jatuh ke pundak kita.

Inilah mission impossible, situasi buruk yang dihadapi para nabi.

Tengoklah kisah Nabi Musa yang diminta mendatangi Firaun yang punya tentara paling kuat dizamannya, punya kekuasaan tak terbatas sampai mengaku sebagai Tuhan. Sementara Musa punya beban psikologis yang berat karena dibesarkan oleh Fir’aun di istananya yang megah. Berapa persentase kemungkinan Fir’aun menerima dakwah nabi Musa? Mungkin 0,0001%, apa Musa menolak?

“Ya Tuhan… jangan saya deh yang datangi Fir’aun, saya kan banyak hutang budi, saya dibesarkan oleh kebaikan Asiah istri fir’aun!!”

Namun ternyata bukan penolakan yang dilakukan Musa, tapi ketaatan dan ketegaran menjalani semua tugas tersebut.

Begitu pula dengan Nabi Nuh. 950 tahun berdakwah hanya memiliki sedikit pengikut. Namun Nuh tetap menjalani misinya dengan segala keteguhan. Apakah Allah complain kepada Nuh yang tidak berhasil membawa banyak pengikut?. Ternyata tidak .Allah tidak pernah melihat hasil, tetapi Allah melihat proses dan perbuatan amal manusia.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿١٠٥﴾

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.” (At-Taubah: 105)

Mari kita buka siroh Rasulullah Muhammad saw. Mission impossible yang harus Beliau lakukan sangat berat. Terlahir sebagai yatim dari keluarga miskin, tidak punya harta dan kedudukan, apalagi pengikut. Namun Allah mengangkatnya menjadi seorang Nabi dengan tugas yang mission impossible. Mengapa dianggap impossible? Karena tanpa bekal apa-apa Muhammad harus berdakwah ditengah kaum yang hidupnya keras, biasa berperang, angkuh, sombong , buta dan tuli hatinya. Karakter masyarakat Makkah ketika itu digambarkan lehernya mendongak, tidak pernah menunduk. Artinya keangkuhan dan kesombongan sudah mengakar kuat mendarah daging, mereka kaum yang sulit menerima nasihat, bahasa lainnya susah didakwahi. Gambaran jelas tentang mereka dalam surat yasin ayat 8-10.

إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ أَغْلَالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقَانِ فَهُم مُّقْمَحُونَ ﴿٨﴾ وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ ﴿٩﴾ وَسَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ ﴿١٠﴾

“Sesungguhnya kami Telah memasang belenggu dileher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, Maka Karena itu mereka tertengadah. Dan kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat Melihat. Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman.” (Yaasiin: 8-10)

Mengapa Allah sudah bilang karakter orangnya susah didakwahi tapi Allah tetap menyuruh Rasul berdakwah, Kenapa pula Rasulullah mau melakukannya?

Setidaknya ada 3 alasan mengapa para Nabi dan Rasul tetap setia dengan misi dakwahnya, merubah yang impossible menjadi possible yaitu:

1. Yakin

Keyakinan yang kuat karena dakwah ini perintah Allah, pasti Allah tidak akan meninggalkannya sendirian. Tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Yakin pasti bisa dilakukan. Berapa persen tingkat keberhasilannya? Itu bukan urusan Nabi , karena Nabi hanya melakukan apa yang diperintahkan Allah. Soal hasil terserah Allah.

Seorang diri Rasulullah berdakwah tanpa bosan dan putus asa. Rasulullah derect selling sendirian, bahasa Islamnya silaturahim kepada siapa saja, yang dikenal maupun orang asing.

“Sudilah kiranya anda duduk sebentar mendengarkan saya, jika ucapan saya anda sukai silahkan bergabung jika tidak suka anda boleh pergi.”

Dakwah Rasulullah mendapat celaan, hinaan, ancaman, siksaan, pemboikotan dan pembunuhan pengikutnya dari golongan budak yang lemah. Sampai Allah gambarkan

Dalam surat Al an’am ayat 33, betapa sedih dan sempit dada Rasulullah mendengar ejekan dan komentar mereka dalam mensikapi dakwah Rasulullah.

قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ ۖ فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَٰكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ ﴿٣٣﴾

“Sesungguhnya kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), Karena mereka Sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (Al-An’am: 33)

Dalam ayat Ini Allah menghibur nabi Muhammad s.a.w. dengan menyatakan bahwa orang-orang musyrikin yang mendustakan nabi, pada hakekatnya adalah mendustakan Allah sendiri, Karena nabi itu diutus untuk menyampaikan ayat-ayat Allah.

Dengan keyakinan dan kesabaran perlahan-lahan dakwah ini bersemi. Jika dihitung berapa banyak penduduk Makkah yang mati kafir dan yang beriman? Tentu lebih banyak yang beriman. Pada perang Badar yang mati 70 orang, perang uhud belasan orang. Bandingkan yang beriman pada Fathu Makkah yaitu 2000 orang. Nabi membuktikan impossible menjadi possible.

2. Allah maha teliti mencatat amal manusia.

Allah sangat menghargai proses, yang penting beramal dengan cara yang benar. Allah tidak pernah menuntut hasil. Ketika seluruh energy telah dikerahkan, segala daya upaya telah dipersembahkan, maka Allah akan tunjukkan jalan setapak demi setapak. Seperti dalam surat al Ankabut ayat terakhir

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٦٩﴾

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69)

Selama 10 tahun rasulullah direct selling di Makkah, tiap musim haji Rasulullah mendatangi tenda-tenda kabilah yang datang untuk tawaf di Ka’bah, baru pada tahun ke 11 kenabian Allah bukakan hati penduduk yatsrib 6 orang suku Aus dan khodroj untuk masuk Islam. Ya… dari 6 orang ini Islam bersemi di Madinah selanjutnya Rasulullah mengutus Mush’ab bin Umair untuk berdakwah di Madinah meluaskan ekspansi dakwah menyiapkan lading subur kedatangan para sahabat yang mendapat siksaan untuk berhijrah, puncaknya Rasulullah pun berhijrah pada tahun ke 13.

Merekalah yang diberi gelar kaum Anshor yang siap menampung kaum Muhajirin.Seluruh proses dakwah yang Rasulullah lakukan bersama sahabat mendapat ganjaran dari Allah. Bahkan seluruh amal perbuatan manusia dicatat yang baik ataupun yang buruk. Catatan amal inilah yang akan Allah perlihatkan kelak di hari kiamat.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ ﴿١٦﴾ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ ﴿١٧﴾ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ ﴿١٨﴾

“Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 16-18)

Meskipun nabi sudah dijamin masuk surga, namun tetap semangat mengumpulkan amal, semangat berdakwah. Kalau bapaknya tetap kafir, Rasulullah berharap anak cucunya akan masuk Islam. Al walid bin Mughiroh kafir sampai matinya, namun tiga dari empat anaknya masuk Islam salah satu yang terkenal adalah si pedang Allah Kholid bin Walid.

Mari kita buat catatan indah untuk diri kita, hingga ketika dibangkitkan di hari kiamat catatan itu menjadi saksi amal sholeh kita.

3. Contoh yang menginspirasi nabi berdakwah

Contoh ini Allah gambarkan dalam surat Yasin ayat 13 -27. ( Karena panjangnya ayat tersebut , kami harap agar pembaca melihat langsung ke mushhaf.)

Allah gambarkan perumpamaan suatu negeri yang selalu menolak utusan Rasul dari Allah sampai Rasul yang ke tiga juga ditolak. Datanglah seorang laki-laki dari kaumnya berkata: “hai kaumku ikutilah utusan-utusan itu”. Namun kaumnya malah membunuh laki-laki itu. Dan Laki-laki itu masuk surga.

Ya itulah mission impossible yang dilakukan Rasulullah. Manusia tidak ada yang sempurna, justru ketidak sempurnaan inilah menyebabkan manusia butuh untuk saling menasihati dan saling memberi peringatan.

Jangan berpikir harus banyak ilmu dulu baru berdakwah, banyak amal sholeh dulu baru berdakwah. Selalu merasa diri tak layak jadi dai, tak layak jadi murobbi karena masih banyak dosa, masih kurang ilmu. Mari kembali buka siroh bandingkan kondisi kita hari ini dengan kondisi Rasulullah .

Nabi terlahir sebagai yatim , masih kecil ibunya wafat, dirawat kakeknya, kakeknyapun wafat, dirawat pamannya yang miskin dan punya anak banyak . Bandingkan dengan diri kita apakah kita yatim piatu ? miskin? Ga punya pekerjaan? Mana lebih buruk kondisi kita dengan kondisi Rasulullah?
Nabi hidup ditengah kaum yang angkuh, keras, sulit didakwahi. Kita hidup ditengah masyarakat yang santun, ramah, murah senyum, suka menolong.

Rasul hidup di negeri tandus dan gersang, negeri yang hampir tidak bisa ditanami. Bagaimana dengan negeri kita? Ooo…h sepenggal firdaus, orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman (kata Kues Plus).

Sumber: http://www.dakwatuna.com

Tanya: “Ustadz benarkah bahwa mencium tangan orang dan membungkukkan badan maka hal tersebut bukanlah syariat Islam melainkan ajaran kaum feodalis? Jika demikian, mohon dijelaskan. Jazakumullah”.

Jawab:

Ada beberapa hal yang ditanyakan:

Pertama, masalah cium tangan

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,

Menyayangi dan Menghormati Ibu

“Tentang cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih dari Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium tangan seorang ulama (baca:ustadz atau kyai) jika memenuhi beberapa syarat berikut ini.

1. Cium tangan tersebut tidaklah dijadikan sebagai kebiasaan. Sehingga pak kyai terbiasa menjulurkan tangannya kepada murid-muridnya. Begitu pula murid terbiasa ngalap berkah dengan mencium tangan gurunya. Hal ini dikarenakan Nabi sendiri jarang-jarang tangan beliau dicium oleh para shahabat. Jika demikian maka tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagaimana kita ketahui dalam pembahasan kaedah-kaedah fiqh.
Baca lebih lanjut

Oleh : Kukuh Ahmad (https://twitter.com/kukuh_ahmad)
Chapter 1
“Sesungguhnya rezeki MENCARI seorang hamba sebagaimana ajal mencarinya.”
HR Athabrani

Ternyata rezeki itu tidak perlu dipusingkan. Jatah rezeki kita dari Allah itu sudah pasti dan tidak akan tertukar dengan rezeki orang lain. Justru sebenarnya REZEKI itu yang akan mencari kita. Kemanapun perginya, rezeki itu akan terus MENGEJAR-NGEJAR kita.

Bahkan, Kesimpulan ekstrimnya adalah rezeki itu bahkan TIDAK ADA urusannya dengan bekerja atau tidak bekerja…!

Lihatlah tuna wisma atau jutaan pengangguran di negara kita. Buktinya mereka tetap bisa makan. Dan mereka tetap hidup walaupun tidak memiliki pekerjaan. Memang, kita tidak membahas apakah jalan rezekinya dari hutang, mengemis, numpang orang tua, dikasihani orang, diberi makan tetangga dan lain sebagainya.

Tapi INTINYA yang harus dipahami adalah KITA HARUS YAKIN jika belum ditakdirkan MATI, rezeki untuk kita makan TIDAK AKAN pernah TERPUTUS..!

Nah, jika kita mengimani hal tersebut. Maka kita tidak perlu lagi memakai cara-cara kotor dan dilarang oleh Allah dalam mendapatkan uang dan rezeki.

Kita harus tetap bersabar dengan jalan yang Halal, walaupun kadang-kadang jalan yang halal itu agak susah.

Jika seluruh Pejabat di negeri ini memahami konsep yang benar tentang rezeki, maka mereka tidak perlu ketakutan kekurangan rezeki sampai menempuh jalan menjadi KORUPTOR.

Jika pedagang di PASAR memahami konsep rezeki ini, maka tidak akan ketakutan tidak bisa makan sampai-sampai harus berbuat curang dengan timbangan.
Baca lebih lanjut

Tiga minggu yang lalu, saya ke Desa Sumowono, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Baca lebih lanjut

Motto versi Jejakjejakjejak 2012

# Engkau takkan bisa mencukupi kebutuhan manusia dengan harta kekayaanmu, tetapi bisa engkau cukupi dengan senyum yang manis dan tingkah laku yang baik. (Al-Hadits)

# Kata-kata yang kasar dan tajam membuktikan lemahnya jalan pikiran. (Viktor Hugo).

# Belas kasihanilah terhadap sesame, bersikap keraslah pada diri sendiri. (Einsten).

# Kalau anda tidak menemukan kebaikkan yang bisa diceritakan tentang seseorang, lebih baik mengunci bibir anda erat-erat dan anda akan bersyukur kemudian. (Shakespeare).

# Kemakmuran menghasilkan banyak kawan, tetapi kemalangan mencobai mereka dapat bertahan sebagai kawan sejati. (Franklin).

# Kawan yang baik lebih baik daripada duduk sendirian, dan duduk sendirian lebih baik dari kawan yang jahat, dan mengutarakan kebaikkan lebih baik dari diam, dan diam lebih baik dari berkata tidak baik. (Nabi Muhammad saw).

# Tak ada sesuatu yang lebih menyenangkan daripada menimbulkan senyum pada wajah orang lain, terutama pada wajah yang kita cintai. (R. A. Kartini).
Baca lebih lanjut

Puasa Ramadan yang kita tunaikan setiap tahun tidak hanya merupakan kegiatan rutinitas yang berulang, tapi hendaknya diupayakan puasa yang kita jalankan ini benar-benar puasa yang bermakna dan menuju puasa yang berkualitas.Ulama sufi membagi puasa itu ada tiga macam: Pertama puasa am, yakni puasa awam. Artinya puasanya orang yang hanya sekadar tidak makan dan tidak minum serta tidak berhubungan suami isteri pada siang hari, tapi kualitas puasanya masih rendah. Bahkan masih ada yang merasa terpaksa melaksanakan puasa, karena puasa dianggap beban. Ada juga orang menjadi serba salah jika bulan Ramadan tiba, karena mau melaksanakan puasa merasa beban dan tidak sanggup, sedangkan kalau tidak berpuasa merasa malu dengan isteri dan anak-anaknya. Akhirnya pura-pura berpuasa. Pada siang hari dia keluar mencari warung yang bertirai, ketika pulang ke rumah kelihatan pura-pura letih biar dianggap benar-benar berpuasa oleh anak dan isterinya. Orang seperti ini jika Ramadan tiba hatinya resah dan gundah dia berharap bulan Ramadan cepat berlalu dan Idul Fitri segera tiba. Ada juga yang memang melakukan puasa, tapi perilaku dan mulutnya tetap tak bisa dikendalikan , mencaci dan mengumpat serta menceritakan keburukan orang lain tetap dilakukan. Puasa semacam ini harus dihindari, agar puasa yang kita tunaikan tidak sia-sia. Baca lebih lanjut

Jika ditanyakan kepada manusia, pilih surga atau neraka? Dengan informasi yang seadanya, dengan bekal informasi bahwa surga itu nikmat dan neraka itu menyeramkan, maka dengan lantang pasti akan memilih surga. Tapi, tahukah kita bahwa jalan menuju surga itu sulit dan jalan menuju neraka begitu mudah?
Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda (yang artinya): “Ketika Allah menciptakan surga, Dia berfirman kepada Jibril, ‘Pergi dan lihatlah (surga itu)’. Jibril pun pergi untuk melihatnya. Jibril kembali seraya berkata, ‘Tuhanku, demi keperkasaanMu, tidak seorang pun mendengar (tentang surga itu) kecuali dia (ingin) memasukinya’. Kemudian Allah Swt. mengelilingi (surga) dengan kesulitan-kesulitan (untuk mencapainya) dan berfirman kepada Jibril, ‘Wahai Jibril! Pergi (lalu) lihatlah (surga itu)’. Jibril pun pergi untuk melihatnya. (Jibril) kembali seraya berkata, ‘Tuhanku, demi keperkasaanMu, sungguh aku khawatir tidak seorang pun yang (dapat) memasukinya’.” Baca lebih lanjut

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra Nabi Muhammad saw pernah bersabda,  “Tidak ada seorang Nabi yang Allah utus kecuali ia pernah menggembala domba. Para sahabat bertanya, “Termasuk Engkau wahai Rasulullah? Ia menjawab, “Ya, saya pernah mengembala domba milik orang Makkah dan mendapatkan upah.”

Menggembala domba pada waktu itu selain menjadi salah satu pekerjaan yang menghasilkan uang, ia juga sekaligus menjadi sarana pembinaan rasa untuk tumbuh rasa belas kasihan, kelembutan, cinta, kasih sayang, mengenali, dan memperhatikan baik kepada hewan ternak maupun kepada sesama penggembala.

Menggembala domba memberi ruang bagi Rasulullah saw untuk ke luar jauh dari lingkaran sosial keluarganya, dapat berjumpa dengan sesama penggembala, berbaur di tengah-tengah masyarakat yang kaya pengalaman, berkomunikasi, beradaptasi dan memahami lingkungan di sekitarnya. Masa kecil itu telah memberi kesempatan bagi Rasulullah saw untuk keluar dari teritorial kampungnya mampu melihat hamparan yang luas, menatap ufuk langit, menemukan udara yang bersih, mengenali betapa indah ciptaan Allah di muka bumi ini.

Inilah pelajaran kepemimpinan efektif yang Rasulullah saw lalui dan sempat ia ungkapkan  dengan meminjam kata “raa’in” yang berarti penggembala, Baca lebih lanjut

Oleh: Alm. Ust. Rahmat Abdullah *

Sejarah telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguh-sungguh. Bukan oleh orang-orang yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan dimenangkan oleh orang-orang yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad.

Ba’da tahmid wa shalawat

Ikhwah rahimakumullah, Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an Surat 19 Ayat 12 : …..
Ya Yahya hudzil kitaaba bi quwwah …” (QS. Maryam (19):12)

Tatkala Allah SWT memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, Ia tak hanya menyuruh mereka untuk taat melaksanakannya melainkan juga harus mengambilnya dengan quwwah yang bermakna jiddiyah, kesungguhan-sungguhan.

Sejarah telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguh-sungguh. Bukan oleh orang-orang yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan dimenangkan oleh orang-orang yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad. Baca lebih lanjut