Beliau dilahirkan dinegeri yang terletak di antara Sungai Dajlah dan Efrat itu terbagi menjadi dua bagian:

1. Bagian selatan disebut Irak Arab yang di dalamnya mencakup Bagdad dan Basrah.
2. Bagian utara dalam kebudayaan Arab Kuno disebut perkampungan Bakar dan perkampungan Madhar.

Para ahli geografi Arab menyebutnya sebagai Jazirah. Sebelah utara negeri itu adalah Armenia. Di sebelah selatannya adalah lrak Arab. Kurdistan di sebelah timur, sedangkan di sebelah barat berbatasan de­ngan Asia Kecil serta Perkampungan Syam (Syiria). Pada bagian itulah terletak Mausal, Raqah {Al-Baidha’) dan Ar-Raha. 1)

Disebelah utara Ar-Raha sejauh delapan jam perjalanan akan sampai pada Hiran,sebuah kola bersejarah yang amat terkenal sebagai pusat agama dan ilmu pengetahuan bagi penganut Shabiah kuno, seba­gaimana yang dikatakan oleh Ibnu Haikal. Kota itu sangat terkenal dan menjadi istimewa karena menjadi sumber filsafat dan ilmu-ilmu Yunani kuno. Itulah tempat yang juga disebut Hiran, yang dahulu menjadi tempat tinggal Ibnu Taimiyah. Telah berabad-abad keluarganya tinggal di situ.

Keluarga Ibnu Taimiyah

Keluarga Ibnu Taimiyah2) yang sejak dahulu telah dikenal dengan nama itu berasal dari Hiran yang terkenal dengan keilmuan dan aga­manya. Keluarga itu, sejak diketahui sejarahnya, adalah penganut aqi­dah dan mazhab Hanbali. Di kampung itu mazhab Hanbali begitu kuat mengakar. Para ulamanya senantiasa sibuk mengajar, memberi fatwa, dan menulis.

Kakek Ibnu Taimiyah yang bernama Abul Barakat Majduddin ter­masuk salah seorang imam mazhab Hanbali dan pembesar ulamanya. Bahkan sebagian ahli ilmu menyebutnya sebagai Mujtahid Mutlak.

Al-Hafizh Adz-Dzahabi, seorang ahli biografi para tokoh, dalam bukunya An-Nubala’ berkata: “Majduddin bin Taimiyah lahir sekitar tahun 651 Hijriyah. Mula­-mula belajar ilmu kepada pamannya Al-Khathib Al-Wa’izh Asy-Syahir Fakhruddin bin Taimiyah. Kemudian dia berguru kepada para ahli hadits dan ulama Hiran serta Bagdad. Dia menguras habis ilmu mereka dan mendalami fiqh, sehingga dia menjadi pakar di bidang fiqh.

Saat dia sampai di Bagdad pada tahun 651 H, dalam perjalanan­nya untuk menunaikan haji. para ulama Bagdad sangat terkagum­-kagum melihat kejeniusan dan kedalaman pengetahuannya.”

Imam Adz-Dzahabi berkata: “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri telah bercerita kepadaku bahwa Syaikh Ibnu Maliki mengatakan, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melembutkan pemahaman kepada Majduddin Ibnu Taimiyah sebagai­mana dia telah melunakkan besi bagi Dawud ‘Alaihi wasalam” Ibnu Taimiyah juga berkata: “Sesungguhnya kakekku (Majduddin) mempunyai suatu keisti­mewaan. Bahwa pada suatu ketika seorang ulama bertanya kepadanya tentang suatu masalah ilmiah. Kakekku berkata kepadanya bahwa ja­waban masalah itu ada enam puluh cara. Kemudian dia mengetengah­kannya satu persatu. Ulama itu berkata, “Cukup engkau mengulangi­nya.” Sungguh dia tercengang-cengang dengan kecerdasannya itu. Ibnu Taimiyah juga berkata, “Sesungguhnya dia memang orang yang istimewa pada zamannya dalam menukil matan_dan menghafal beberapa mazhab tanpa sedikit pun merasakan kesulitan dalam hal itu.” Dia meninggal dunia pada tahun 652 H.

Salah satu karya peninggalannya yang termasyhur adalah kitab Muntaqiyul Akhbar yang menjadi referensi banyak ulama di setiap ma­sa. Dalam kitab itu penulisnya mengumpulkan hadits-hadits yang memu­at soal fiqih yang dijadikan dalil dan rujukan bagi ahli mazhab. Pada akhir hayatnya dia meminta seorang ulama mujtahid besar dari Yaman, yakni Al-Allamah Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (wafat tahun 1255 H) untuk mensyarahi kitab tersebut. Permintaannya itu dia kabulkan. Kemudian dia mensyarahinya menjadi delapan jilid tebal dengan judul Nailul Authar. Dia tergolong sebagai buku yang berbobot di bidang ilmu pengetahuan dan pengajaran karena buku itu memang sangat analitis dan sistematis serta dijamin oleh luasnya wawasan penulis dari kejelian hatinya.

Adapun ayah Ibnu Taimiyah adalah Syaikh Syihabuddin Abdul Halim bin Taimiyah. Dia seorang ulama ahli hadits dan ahli fiqih Hambali sekaligus sebagai seorang pengajar dan pemberi fatwa. Setelah berpindah dari Hiran ke Damsyiq, dia aktif mengajar di perguruan Al-Amwi yang dikenal sebagai markas para ulama dan guru besar. Tidak setiap ulama atau guru dapat mengajar di perguruan ini. Di perguruan itu seorang pengajar dituntut harus mampu berbicara dan membahas materi di luar kepala, tanpa harus membuka buku di tengah-tengah mengajar. Tentu saja ini harus didukung dengan daya ingat dan hafalan yang kuat. Demikianlah, dia menekuni kerja ini sampai tua. Dia tinggal di Darul Hadits dan meninggal pada tahun 682 H. Dikebumikan di pemakaman kaum sufi.

Kelahiran Ibnu Taimiyah dan Perpindahannya dari Hirah ke Damsyiq.

Taqiyyuddin bin Taimiyah lahir pada hari Senin, 10 Rabi’ul Awal H dalam lingkungan keluarga yang terkenal agamis. Ayahnya mem­beri dia nama “Ahmad Taqiyuddin”, kemudian diberi nama kuniyah dengan “Abil Abbas”. Namun akhirnya dia terkenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Nama itulah yang akhirnya terkenal di kalangan orang banyak sehingga nama aslinya terkalahkan.

Seperti telah disinggung,masa ketika Ibnu Taimiyah hidup penuh dengan kekacauan dan kebengisan Tatar. Seluruh dunia Islam merasa ketakutan terhadap kebrutalan tentara tatar. Hanya saja, kawasan Irak dan jazirah memiliki kisah tersendiri. Ketika Ibnu Taimiyah mendekati usia tujuh tahun, tentara Tatar hendak mengarahkan serangan ke Hiran. Keluarga Ibnu Taimiyah menyelamatkan diri dan meninggalkan kota itu dengan membawa apa yang mereka punya, yakni pusaka ilmu pengetahuan dan keutamaan, serta kemuliaan dan kesucian sebagai keluarga para ulama yang besar.

Boleh jadi karena Irak adalah pusat serangan dan kebrutalan Tatar, maka mereka tidak berminat lagi untuk kembali ke tempat itu. Karena Syiria merupakan negeri terdekat yang tidak terjangkau oleh kerusakan dan huru-hara itu dikuasai oleh raja-raja Mesir, maka keluarga Ibnu Taimiyah bermaksud hendak menuju kesana dan menjadikan Damsyiq sebagai tempat untuk menghindari fiotnah dan kebrutalan Tatar.

Meskipun dalam suasana yang penuh dengan kekacauan dan kekerasan, mereka tidak lupa membawa serta dan memindahkan perpustakaan yang amat berharga sebagai satu-satunya warisan ilmiah. Mereka tidak ingin berpisah dengan perpustakaan itu meskipun harus menanggung kepayahan dan kesulitan sebagai resikonya. Mereka membawa kekayaan yang paling berharga berupa buku-buku itu di atas gerobag dan keluar di tengah malam tanpa merasa takut kepada Tatar. Padahal kecemasan selalu menghantui di setiap tempat, dimana rombongan itu bergerak disertai wanita dan anak. Yang lebih menyulitkan lagi, gerobag itu ditarik dengan tangan manusia, karena saat itu memang sulit mendapatkan binatang. Demikianlah, perjalanan itu ditempuh dengan jalan kaki. Jika saja mereka berpapasan dengan pasukan Tatar, maka habislah riwayat mereka. Maka keluarga itu hanya pasrah dan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong dan menyelamatkan mereka dari kebinasaan.

Saat di Damsyiq

Ketika keluarga ulama besar itu sampai di Damsyiq, langsung kabarnya tersebar kepada khalayak ramai. Para peminat ilmu di tempat itu memang telah mengenal nama Abil Barakat bin Taimiyah dengan segala perilakunya. Tidak berbeda halnya dengan Abdul Halim bin Taimiyah, ia juga telah dikenal keilmuan dan keutamaannya di kalangan mereka. Tidak lain, hal itu disebabkan Abdul Halim yang pernah mengajar di perguruan Al-Amwi dan Darul Hadits As-Sukriyyah. Bahkan dia menjadi -rujukan para murid maupun ulama mazhab Hambali. Dengan demikian, dinegeri yang baru itu keluarga tersebut sama sekali tidak merasa asing atau terisolisir.

Dalam usianya yang masih muda dan masih kecil Ibnu Taimiyah telah selesai menghafal Al-Qur’an. Kemudian dia menyibukkan diri de­ngan mempelajari fiqih, hadits, dan ilmu-ilmu arabi. Dalam usianya yang masih sangat muda itu, dia sering menghadiri majelis pengajaran dan ceramah di samping ayahnya dan para ulama pada masa itu. Bahkan dia juga menyertai mereka dalam diskusi ilmiah yang menyebabkan kejeni­usannya dan kecemerlangan hatinya makin terlihat.

Orang yang Memiliki Kejeniusan Cemerlang

Keluarga Ibnu Taimiyah telah terkenal intelek, banyak hafalan, dan jenius. Bapak dan kakeknya adalah orang yang amat kuat ingat­annya. Namun demikian, Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, dalam hal itu ma­sih mengungguli semua keluarganya. Sampai para ulama dan guru-guru­nya pun terkagum-kagum terhadap kekuatan hafalan serta kejeniusan­nya. Bahkan dia juga terkenal demikian di Damsyiq. Sehingga, penulis Al-‘Uqud Ad-Durriyyah menceritakan tentang Ibnu Taimiyah sebagai berikut:

“Telah dimaklumi bahwa seorang ulama besar di Aleppo telah da­tang ke Damsyiq. Dia berkata, “Aku telah mendengar -di negeri itu ada seorang bocah bernama Ahmad bin Taimiyah dan dia memiliki kejenius­an yang luar biasa. Maka aku datang dengan maksud dapat melihatnya.” Kemudian seorang penjahit berkata kepadanya, “Ini adalah jalan yang dilalui dia menuju tempatnya belajar dan sampai kini dia belum datang. Silahkanlah tuan duduk di sebelahku, tentu dia akan datang.” Syaikh itu lalu duduk.

Tidak lama kemudian, datanglah dua anak kecil. Tukang jahit itu berkata kepada syaikh Aleppo tadi, “Anak kecil yang membawa papan tulis besar itulah Ahmad lbnu Taimiyah.” Syaikh memanggilnya sehingga ­Ibnu Taimiyah mendekatinya. Syaikh mengambil papan tulis itu dan mengamatinya, kemudian berkata, “Wahai bocah, hapuslah ini sehingga aku akan mendiktemu tentang sesuatu dan engkau menulisnya.” Ibnu Taimiyah siap melakukannya. Syaikh mendiktekan kepadanya beberapa matan hadits, yakni sebelas dan tiga belas hadits. Syaikh berkata, “Bacalah ­ini!” Maka Ibnu Taimiyah tidak perlu berpikir lagi setelah ia menulisnya. Syaikh itu mengangkatnya dan berkata, “Aku telah mendengarnya sebagaimana engkau mendengarnya.” “Wahai anakku,” kata syaikh itu lagi, “Hapuslah itu!” Ibnu Taimiyah melakukannya. Kemudian syaikh itu mendiktekan lagi kepadanya sejumlah sanad yang dipilihnya. Kemudian dia berkata, “Bacalah ini!” Dan syaikh itu memperhatikannya sebagaimana semula. Kemudian dia berdiri seraya berkata, “Jika anak ini hidup lama, tentulah dia akan menjadi orang besar. Sungguh anak ini tidak tertandingi.”

Kisah tentang kejeniusan dan kekuatan daya ingat sebagaimana. yang termuat dalam buku-buku sejarah yang terpercaya disamping apa yang telah kita saksikan dan kita buktikan pada para perawi dan imam-­imam terkemuka mengenai daya ingat yang langka, kisah kejeniusan ­Ibnu Taimiyah bukan aneh dan bukan mustahil. Bahkan kenyataan yang dialami dalam hidupnya merupakan suatu bukti bahwa Ibnu Taimiyah memang seorang jenius yang sulit ditemukan tandingannya.

Pendidikan dan Bidang-bidang Yang Ditekuni Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah mulai menapak jenjang pendidikannya dengan pe­nuh serius dan rajin. Para ahli sejarah di masanya telah mencatat bahwa Ibnu Taimiyah, meskipun dalam usia kanak-kanak, tidak begitu tertarik kepada segala permainan dan senda gurau sebagaimana yang diperbuat oleh kebanyakan anak. Dia tidak pernah menyia-nyiakan waktu untuk itu. Dia pergunakan setiap kesempatan untuk menelaah soal-soal kehidupan dan sosial kemasyarakatan, disamping terus mengamati setiap gejala yang terjadi tentang tradisi maupun perangai manusia. Setiap karya Ibnu Taimiyah menunjukkan dengan jelas sekali bahwa dia memiliki wawasan yang luas dan pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan dan masyarakat. Namun demikian, dia tidak mengasingkan diri dari khalayak ramai dan terkungkung oleh kegiatan ilmiah saja.

Ibnu Taimiyah mempelajari berbagai disiplin ilmu yang dikenal pada masa itu. Kemampuannya berbahasa Arab sangat menonjol. Dia menguasai ilmu nahwu (tata bahasa Arab) dengan amat sempurna. Dia telah mengkaji seluruh isi Al-Kitab, yakni sebuah buku nahwu karya Imam Sibawaih yang amat terkenal, dimana jika orang menyebut Al-Kitab, pasti kepunyaan Sibawaih. Dengan berani dia telah menyatakan tidak sependapat dengannya dalam beberapa masalah. Dia bongkar segi-segi kelemahan dan kesalahan pengarangnya. Kemampuannya berbahasa Arab dengan tata bahasa yang benar telah dia buktikan dalam kegiatan ilmiahnya. Dia selalu memakainya dalam setiap diskusi maupun dalam tulisan-tulisannya. Dia telah hafal sebagian besar kata mutiara ma­upun syair-syair bahasa Arab. Dia juga mengetahui benar perikehidupan jahiliyah dan orang-orang Arab kuno, disamping menguasai sejarah dan kerajaan-kerajaan Islam. Bahkan kemampuannya dalam bidang-bidang itu telah menambahkan banyak perbendaharaan yang dapat diambil oleh generasi sesudahnya. Tidak ada seorang pun dari kalangan ulama yang mampu menandingi keluasan pengetahuan dan kedalaman pan­dangannya. Itulah sebab utama yang membuatnya unggul dalam pengetahuan dan pendalaman.

Ibnu Taimiyah juga belajar kaligrafi, ilmu hisab dan ilmu olah ra­ga. Dia belajar dengan penuh gigih dari para gurunya berbagai jenis ilmu agama seperti ilmu fiqih, ushul, fara’idh, hadits dan tafsir. Fiqih Hambali dia dapatkan dari ayahnya yang kebetulan gurunya sekaligus di bidang ini. Dia mendengarkan hadits, menghafal, dan menulisnya seperti kebi­asaan yang berlaku pada saat itu. Kitab hadits yang pertama dia hafal adalah Al-Majma’ Bainash Shahihain karya Al-Hamidi. Di samping itu, dia juga belajar dari ulama-ulama Syam, mengambil dan merawikan hadits dari mereka.

Ibnu Abdul Hadi berkata: “Guru-guru dimana Ibnu Taimiyah belajar dari mereka lebih dari dua ratus orang. Di antaranya yang teristimewa adalah Ibnu Abdid Daim Al-Muqaddasi dan para tokoh setingkat dengannya. Dia belajar Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Shahih Enam secara berulang-ulang.”

Ilmu Tafsir adalah disiplin ilmu yang paling disukai oleh Ibnu Taimiyah. Minatnya terhadap ilmu yang satu ini terlihat lebih tinggi. Dia sendiri mengaku telah mempelajari lebih dari seratus kitab Tafsir Al-Qur’an. Disiplin ilmu pengetahuan ini memang layak sekali dengan­nya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberinya berbagai ilmu Al-Qur’an dengan cara yang tertentu dikarenakan banyaknya dia membaca Al-Qur’an, merenungkan makna-maknanya serta mengkajinya dengan penuh cer­mat. Bahkan dia tidak cukup hanya dengan mempelajari Al-Qur’an saja, tetapi senantiasa memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diberi nikmat ke­fahaman terhadap Al-Qur’an dan kelapangan dada untuk menerimanya.

Tentang kerakusannya terhadap ilmu Al-Qur’an, dia sendiri me­ngatakan,
“Untuk mengkaji satu ayat saja, aku menelaah sekitar seratus taf­sir. Aku memohon kepahaman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan aku berkata, “Wa­hai Dzat yang telah mengajar kepada Adam dan Ibrahim, ajarilah aku” Kemudian aku pergi ke beberapa masjid yang terpencil, aku sujud di atas tanah dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Wahai Dzat yang telah mengajar Ibrahim, pahamkanlah aku.”

Pada masa itu ilmu kalam yang dikibarkan oleh para penganut Al-Asy’ari memiliki pengaruh yang amat kuat terutama di Mesir dan Damsyiq. Sultan Shalahuddin sendiri adalah seorang penganut Asy’ari. Sejak kecil dia senantiasa teguh memegang ajaran Quthbuddin Abi Al-­Ma’ali Al-Asy’ari, penulis Ilmu Aqa’id. Di samping itu, dia juga menga­jarkannya kepada anak-anak dan keluarganya. Dia dan para khalifahnya dari kalangan Bani Ayub, sempat menekankan kepada khalayak ramai agar berpegang kepada aqidah Asy’ariyah. Dengan demikian, penga­nut Asy’ari mendapat perlindungan dari pemerintah pada masa Sultan Shalahuddin dan para penggantinya dari kalangan raja-raja Mesir.

Sementara itu, pihak pengikut Hambali agak menyerang para pengikut Asy’ari. Di antara mereka ada kelainan pandangan terhadap suatu masalah yang terkadang menimbulkan perdebatan serius. Para pe­nganut Asy’ari selalu mendasarkan pandangan mereka dengan pembuktian akal dan logika. Sedangkan pengikut Hambali berpegang pada ­makna zhahir dan nash ayat maupun hadits. Terkadang tampak sekali bahwa terjebaknya mereka dalam perdebatan ilmiah itu karena mereka tidak mendalami ilmu kalam dan sama sekali tidak tertarik kepada ilmu logika. Mereka telah menduga bahwa orang-orang yang mendasarkan pemikirannya dengan logika tidak dapat dijamin kebenarannya, dan mereka tidak dapat mendalami ilmu tersebut.

Ibnu Taimiyah menolak anggapan tersebut. Pemuda yang gesit dan cerdas itu justru berusaha keras untuk mendalami ilmu kalam dan sekaligus menekuni ilmu-ilmu logika. Dia mengkaji dan mendalami ilmu tersebut hingga tuntas. Sampai dia dapat menemukan segi-segi kele­mahan serta kesalahan para pengarang dan tokoh-tokohnya dari para ilmuwan Yunani. Selanjutnya dia berusaha keras untuk menyanggah ilmu tersebut dan menulis beberapa buku yang sulit dibantah lagi.

Jelaslah bahwa Ibnu Taimiyah tidak sekadar taklid kepada para pendahulunya dalam menggali Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menetapkan ketinggian dan kebenaran agama. Dia memberantas berbagai ke­sesatan ilmu maupun amalan dan menebasnya dengan pedang ilmiah. Kehadirannya pada masa itu sangat diperlukan sebagai orang yang ber­pengetahuan luas dan memiliki pemikiran yang cemerlang. Dia mempelajari peperangan dengan pedang yang telah dilancarkan oleh musuh-­musuh Islam dari kalangan Yahudi, Nasrani, para filosof maupun ahli kebatinan. Dia juga mendalami berbagai ilmu yang membuat para la­wannya tunduk dan harus mengakui kelebihan dan kecerdasannya. La­wannya yang amat terkenal, Al-‘Allamah Kamaluddin Az-Zamlikani, ber­kata:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melunakkan ilmu baginya (Ibnu Taimiyah) sebagaimana Dia telah melunakkan besi bagi Daud ‘Alaihi wasalam. Mana­kala, Ibnu Taimiyah ditanya mengenai suatu ilmu, maka orang yang me­nilai dan mendengar akan mengira bahwa dia tidak mengetahui melain­kan satu disiplin ilmu tersebut dan menganggap pula bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya sebagaimana dia. Para ahli fiqih dan berbagai kalangan manakala duduk bersamanya, akan dapat mengambil faedah daripadanya bagi mazhab mereka mengenai sesuatu yang sebelumnya mereka tidak mengetahuinya. Tidak pernah diketahui bahwa dia membantah seseorang kemudian dia terkalahkan. Setiap kali dia berbicara mengenai suatu disiplin ilmu, baik ilmu syari’at maupun lainnya, pasti akan membuat para peminatnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan tangannya selalu berbuih keemasan dalam menguntai tulisan.”

Ibnu Taimiyah Mengajar Pertama Kali

Ketika Ibnu Taimiyah hampir mendekati usia 22 tahun, orang tuanya yang mulia, Abdul Halim Ibnu Taimiyah meninggal dunia, yakni pada tahun 682 H. Hal demikian mengakibatkan kekosongan di tempat pengajaran di Darul-Hadits Asy-Syukriyyah. Akan tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Pada tanggal 2 Muharram 683, kegiatan mengajar itu dilanjutkan oleh puteranya yang cerdik pandai. Dia mengisi kekosongan itu dan mulai menyampaikan pelajarannya yang pertama. Ibnu Taimiyah ketika itu baru berusia 22 tahun. Namun dia telah memulai jenjang me­ngajarnya yang pertama itu di hadapan pembesar ulama Damsyiq. Me­reka yang hadir di antaranya Syaikh Tajuddin Al-Fazari, seorang syaikh dari kalangan Syafi’iyyah, Syaikh Zainuddin An-Naja Al-Hambali dari kalangan ulama Hanafi, dan lain-lainnya. Termasuk yang saat itu hadir adalah Syaikh Qadhil Qudhat Bahauddin Az-Zaki Asy-Syafi’i. Pengajar­an pertama yang dilakukan Ibnu Taimiyah telah meninggalkan pengaruh yang mendalam pada jiwa para pembesar ulama tersebut. Hal itu men­jadikan mereka mengetahui keluasan ilmu, kecerdasan, kemampuan, kefasihan dan keberanian seorang ulama muda, Ibnu Taimiyah.

Ibnu Katsir, salah seorang murid Ibnu Taimiyah, mencatat bebera­pa kejadian di sekitar tahun 683 H tentang pendidikan Ibnu Taimiyah itu sebagai berikut:

“Merupakan suatu pelajaran yang amat besar yang telah dituliskan oleh Syaikh Tajuddin Al-Fazari dengan tangannya sendiri karena dipan­dang banyak faedah dan kebaikan oleh hadirin. Sungguh para hadirin mengakui kebrilianan seorang yang relatif masih sangat muda. Ibnu Taimiyah ketika itu, baru berusia 22 tahun.”

“Syaikh Taqiyyuddin itu pula pada hari Jum’at, 10 Shafar, setelah shalat jum’at akan duduk di atas mimbar pada Universitas Al-Amwi un­tuk menyajikan materi tafsir Al-Qur’an. Dia memulai pelajaran tafsirnya dari awal dan diikuti oleh banyak peminat dari berbagai ahli disiplin ilmu serta tingkat keagamaan, kezuhudan, dan ibadah. Tentu saja, nama Ibnu Taimiyah kemudian melambung di berbagai penjuru negeri karena ke­giatan itu sempat berlangsung beberapa tahun.”

1) Sekarang dikenal dengan nama Eropa yang mencangkup juga Turki.
2) Penasaban itu bermula sejak kakeknya tertua yaitu Muhammad bin Al-Khadhir. Para sejarawan berbeda pendapat soal sebab penamaan itu. Dikatakan bahwa nama ibu Muhammad bin Al-Khadhir adalah Taimiyah, lalu keluarga itu dinisbatkan kesana.

Sumber: Rijaalul Fikri Waddakwati fil Islam, Aljuz al-khos, bi Hayaati Syaikhul Islaami al-Haafidz ahmad bin Taimiyah

keaneka ragaman Mazhab dalam islam ada dalam posting ini