Karena dalam Al Quran (ayat qawliyah) disebutkan bahwa penguasa Mesir yang bermimpi kemudian mengangkat Nabi Yusuf AS menjadi Menteri Urusan Logistik, Khaza-inu lArdh (S. Yusuf, 55), adalah Malik (Raja), maka ummat Islam wajib mengimani bahwa pada zamannya Nabi Yusuf AS penguasa Mesir tidak bergelar Fir’aun. Tiga generasi sebelumnya tatkala Nabi Ibrahim AS datang ke Mesir, Nabi Ibrahim AS dinikahkan dengan Sitti Hajar, puteri Raja Mesir.

Marilah kita kaji penemuan arkheologis Mesir Kuno (ayat kawniyah). Sekitar tepi danau Manzala terdapat reruntuhan kota Tanis. Kota ini pernah menjadi kota pelabuhan yang makmur. Tidak jauh dari daerah ini terletak situs Avaris, markas angkatan perang yang dibangun oleh Hyksos, Raja Gembala atau Raja Tanah Atas (Hyk = gembala, tahan atas, turatea, dan Sos = raja). Dinasti Raja-Raja Hyksos, sebagai dinasti XV dan XVI mendapatkan legitimasi dalam Dokumen Hieroglyph yang tertera dalam Daftar Penguasa Mesir di Turin. Disebutkannya pernah penguasa Mesir Kuno tidak bergelar Fir’aun (Per-Ah, Phar-Aoh) melainkan Raja dalam Dokumen Hieroglyph di situs Turin itu menunjukkan mu’jizat Al Quran, oleh karena hieroglyph baru dapat dibaca dalam tahun 1824 atas jasa Jean Francois Champollion (1780 – 1832).

Asal-usul Hyksos dari qabilah ‘Ad, kaum terkuat bangsa Semit, penghuni asli Arabia, menguasai padang pasir luas Arabia Tenggara dari pantai teluk Parsi sampai perbatasan Iraq. Al Quran menyebutkan daerah yang dikuasai kaum ‘Ad itu dengan Al Ahqaf (46:21), yang juga menjadi nama surah. Karena merasa dirinya kuat, kaum ‘Ad menyombongkan diri dengan mengatakan: “Siapakah yang lebih unggul dari kami dalam kekuatan?” Itulah yang dikatakan mereka tatkala Allah SWT mengutus Nabi Hud AS kepada mereka. Mereka dihancurkan Allah dengan angin kencang dan dingin selama 7 malam 8 hari terus-menerus lalu mereka mati terguling seakan-akan tunggu-tunggul pohon kurma yang keropos (69:6-7). Kaum ‘Ad yang dibinasakan Allah ini adalah kaum ‘Ad yang terdahulu. WANH AHLK ‘AADN ALAWLW (S. ALNJM, 50), dibaca: Wa annahu- ahlaka ‘a-danil u-la- (s. annajm), artinya: Sesungguhnya Dia telah membinasakan (kaum) ‘Ad yang awwal (53:50).

Nabi Hud AS beserta semua pengikutnya pindah ke Hijaz sebelum angin itu datang. Mereka ini disebut kaum ‘Ad yang akhir menurunkan seorang yang terkenal yaitu Luqman alHakim. Kaum ‘Ad yang akhir ini dikenal dalam sejarah sebagai bangsa Finiqy (Phunicia), atau kaum Al ‘Ibriyah Al Qadimah (Proto ‘Ibriyah). Kata ‘Ibriyah berasal dari ‘Ain, Ba, Ra, ‘Abara artinya penyeberang. Dalam dokumen hieroglyph orang Mesir menamakan bangsa ‘Ibriyah ini dengan nama Khabiru. Mereka menyeberang (beremigrasi) dan mendirikan kerajaan-kerajan di Babilonia, di Kan’an, kemudian ke Mesir mendirikan Dinasti Hyksos setelah menundukkan Dinasi Fir’aun. Bangsa Al’Ibriyah Al Qadimah ini disusul kemudian dengan emigrasi gelombang kedua yaitu kaum Al ‘Ibriyah Al Jadidah (Deutro ‘Ibriyah), di bawah piminan Nabi Ibrahim AS.(*)

Pada tahun 1894 di situs Tell el Amarna didapatkan mula-mula oleh Arab (perempuan) tua beberapa keping alwah (tablet) tanah liat bertuliskan tulisan paku. Di situs itu dilanjutkan dengan penggalian arkheologis sehingga didapatkan sekitar 300 keping bersurat tulisan paku yang dikenal dengan Dokumen Amarna, yaitu sejumlah arsip surat-menyurat diplomatik antara Fir’aun dengan kerajaan-kerajaan Asyiria, Babylonia, Anatolia, Palestinia dan Syria. Menurut Dokumen Amarna, bangsa Khabiru banyak terlibat dalam politik lokal.

Demikianlah bangsa ‘Ad yang kemudian, atau bangsa Al’Ibriyah alQadimah, atau bangsa Khabiru datang di Mesir sebagai emigran yang akhirnya menempati posisi seperti orang-orang Yunani memegang peranan dalam percaturan politik di Kerajaan Romawi, atau seperti Daeng Mangalle (adik Sultan Hasanudin) di Kerajaan Siam yang menjabat sebagai Docda Pacdi (semacam jabatan Khaza-inu lArdhi dari Nabi Yusuf AS di Mesir). Tatkala dalam pemerintahan Dinasti Fir’aun terjadi dekadensi yang melahirkan anarkhi para emigran Khabiru ini, yang menempati posisi dalam percaturan politik mengambil alih mekanisme pemerintahan Fir’aun dengan bantuan kekuatan dari pasukan kaum Al’Ibriyah Al Qadimah dari Kan’an mendirikan Dinasti Hyksos. Maka tumbang dan berakhirlah Dinasti Fir’aun XIV.

Dinasti Hyksos membangun kota-kota di daerah perbatasan sebelah Timur delta s. Nil dengan Avaris sebagai ibu kota. Daerah taklukan Hyksos meliputi seluruh Kerajaan Utara hingga Memphis. Raja-raja Hyksos yang membentuk Dinasti XV dan XVI seperti yang dikemukakan di atas, menuliskan namanya dalam Dokumen Hieroglyph tidak memakai nama-nama Mesir, melainkan nama asli mereka seperti Anath-Her, Khyan, Jacob-El, Apophis.

Dalam abad ke-17 sebelum Miladiyah terbinalah situasi politik seperti berikut: Di lembah s.Nil, yaitu yang dahulu merupakan Kerajaan Mesir Utara atau Mesir Bawah (Northern or Lower Egypt) diperintah oleh kekuasaan garis keturunan Dinasti Raja-raja Hyksos yang merebut warisan kemegahan dan tanggung jawab para Fir’aun Mesir. Mereka mengontrol daerah yang meliputi Kerajaan Mesir Utara, delta kuala s.Nil, semenanjung Sinai, Palestina; ke selatan yaitu Kerajaan Mesir Selatan, mulai dari Elephantine hingga ke Cusae sebelah utara Asyut, yang dahulunya berpusat di Thebes. Penguasa Thebes turun derajatnya dari Fir’aun menjadi vazal bergelar Pangeran (Karaeng Palili’) yang membayar upeti kepada penguasa Hyksos.

Dari Elephantine ke selatan hingga Nubia dan Sudan bagian utara tetap merdeka sebagai kerajaan-kerajaan kecil diperintah oleh para Pangeran Kush. Berbeda dengan para Pangeran Thebes yang membayar upeti, para Pangeran Kush ini merupakan sekutu Raja-raja Hyksos, yang menurut sebagian pakar sejarah, persekutuan Hyksos dengan para Pangeran Kush berbentuk konfederasi.
Dinasti XIV dan sebelumnya, serta Dinasti XVIII dan sesudahnya adalah dinasti para Fir’aun. Dinasti XIV dengan Dinasti XVIII diselingi oleh Dinasti XV dan XVI dari Raja-raja Hyksos dan Dinasti XVII dari para Pangeran Thebes.
Dinasti XIII – XIV dari para Fir’aun (1785 – 1580) sebelum Miladiyah, dengan perincian sebagai berikut:
Dinasti XIII dan XIV dari para Fir’aun (1785 – 1730) seb. Miladiyah.
Dinasti XV dan XVI dari Raja-raja Hyksos (1730 – 1580) seb.M.
Dinasti VII dari para Pangeran Thebes (1680 – 1580) seb. M.

Seken-En-Ra yaitu pangeran kedua yang terkahir dari Dinasti XVII enggan membayar upeti lagi, lalu melakukan perlawanan. Namun ia tidak berhasil dalam perjuangannya melawan Apophis, Raja Hyksos. Mumi dari Seken-En-Ra yang mempunyai luka pada beberapa tempat di kepalanya menunjukkan hal itu. Rupanya ia tewas dalam pertempuran. Putera sulung Seken-En-Ra, kaitu Ka-Mose, pangeran terakhir dari Dinasti XVII meneruskan peperangan melawan Apophis. Baik Ka-Mose maupun Apophis semasa hidupnya tidak dapat menyaksikan hasil peperangan itu. Adik Ka-Mose, yaitu Ah-Mose meneruskan perjuangan kakaknya. Ia berhasil merebut Avaris ibu kota penguasa Hyksos, setelah pengepungan yang lama. Ah-Mose ini membangun Dinasti XVIII dan menjadi Fir’aun yang pertama dari dinasti tersebut. Maka berakhirlah kedaulatan Dinasti Hyksos atas Mesir dalam tahun 1580 sebelum Miladiyah.

Dinasti XVIII dari para Fir’aun (1580 – 1340) sebelum Miladiyah
Dinasti XIX dari para Fir’aun (1340? – 1224) sebelum Miladiyah
Nabi Musa AS berhadapan dengan kedua Fir’aun yang terakhir dari Dinasti XIX, yaitu Ra-Mose II (1298 – 1232) sebelum Miladiyah dan Mern-Ptah (1232 – 1224). Fir’aun Mern-Ptah inilah yang ditenggelamkan Allah SWT di Laut Merah. Sepeninggal Mern-Ptah terjadi khaos selama 24 tahun (1224 – 1200) sebelum Miladiyah. Seti Nekth berhasil menertibkan keadaan dan Fir’aun ini adalah pendiri Dinasti XX (1200 – 1085) sebelum Miladiyah, dan inilah dinasti terakhir dari The New Kingdom Of The Nile. WaLlahu A’lamu bi shShawa-b.

*** Makassar, 12 Oktober 1997 [H.Muh.Nur Abdurrahman]